Terkait BKP/JKP, IKPI Minta Pemerintah Segera Terbitkan Juklak UU PPN

IKPI, Bogor: Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Bogor meminta pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, segera menerbitkan petunjuk pelaksanaan (Juklak) terkait dengan Pasal 4A Undang-Undang (UU) PPN yang kemudian diubah ke Pasal 16B dalam UU HPP (Harmonisasi Peraturan Perpajakan).

Permintaan tersebut terungkap saat kegiatan diskusi bincang pajak (Talk & Tax)  dengan tema “Potensi Sengketa Pajak Paska Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan” yang diadakan IKPI Cabang Bogor, di Rumah Joglo, Bogor, Sabtu (29/10/2022).

Diketahui, diskusi yang menghadirkan 17 peserta ini juga dikuti peserta dari IKPI Cabang Jakarta Timur dan Cabang Jakarta Selatan.

Anggota IKPI Cabang Bogor, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan yang hadir dalam diskusi bincang pajak di Bogor, Jawa Barat, Sabtu, (29/10/2022). (Foto: IKPI Bogor)

Ketua Cabang IKPI Bogor Pino Siddharta mengatakan, kegiatan bincang pajak (Talk & Tax) rutin diadakan setiap bulan, dan bincang pajak kali ini merupakan Chapter#2.

“Bincang pajak merupakan sarana untuk menjalin silaturahmi, keakraban, dan juga menambah wawasan bagi seluruh konsultan pajak yang merupakan anggota IKPI,” kata Pino, Senin (31/10/2022).

Menurut Pino, pelaku usaha membutuhkan kepastian hukum terkait adanya perubahan peraturan yang dilakukan pemerintah. “Jadi juklaknya harus jelas dan kami mengharapkan agar segera dapat diterbitkan,” katanya.

Diskusi bincang pajak (Talk & Tax) dengan tema “Potensi Sengketa Pajak Paska Undang-Undang Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan” yang diadakan IKPI Cabang Bogor, di Rumah Joglo, Bogor, Sabtu (29/10/2022). (Foto: IKPI Bogor)

Diketahui, dalam diskusi tersebut dibahas beberapa topik , antara lain yakni penerbitan faktur pajak (FP) atas uang muka yang diterima dari pengusaha dalam kawasan berikat. Dengan demikian, apakah atas uang muka tersebut diterbitkan FP kode 010 atau 070.

Dalam diskusi itu, peserta juga membahas perubahan atas Non BKP / Non JKP yang sebelumnya ada di Pasal 4A UU PPN, namun di UU HPP beberapa Non BKP/Non JKP tersebut dihapus dan dipindahkan ke Pasal 16B.

Jika sebelumnya sesuai Pasal 4A UU PPN pengusaha di bidang jasa, seperti pelayanan medis dan kesehatan, pendidikan, kesenian adalah pengusaha yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Non JKP, dan juga ada beberapa barang Non BKP seperti barang hasil pertambangan, penggalian, pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya.

Selain itu, ada juga barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak seperti:

  1. Beras, gabah, jagung, sagu, kedelai
  2. Garam, baik yang beryodium maupun yang tidak beryodium
  3. Daging, yaitu daging segar yang tanpa diolah, tetapi telah melalui proses disembelih, dikuliti, dipotong, didinginkan, dibekukan, dikemas atau tidak dikemas, digarami, dikapur, diasamkan, diawetkan dengan cara lain, dan/atau direbus
  4. Telur, yaitu telur yang tidak diolah, termasuk telur yang dibersihkan, diasinkan, atau dikemas, dan masih banyak barang lainnya yang masuk dalam Non BKP.

Kemudian lanjut Pino, pasal itu kini berpindah menjadi Pasal 16B UU HPP, maka atas Non BKP/JKP tersebut sekarang menjadi BKP/JKP yang  mendapatkan fasilitas tidak dipungut / dibebaskan.

Walapun PPN nya tetap Nihil kata dia, terdapat konsekuensi hukum yang jauh berbeda dari peraturan sebelumnya. Karena dengan perubahan tersebut, maka pengusaha yang bergerak dalam bidang pendidikan, kesehatan, dstnya harus dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), dan tentunya mempunyai konsekuensi untuk menerbitkan faktur pajak atas setiap penghasilannya.

Jika wajib pajak (WP) tidak menerbitkan FP atas penyerahannya tersebut, tentunya akan dikenakan sanksi sebesar 1% dari dasar pengenaan pajak. “Ketentuan PPN yang baru telah berlaku sejak 1 April 2022, namun sampai saat ini aturan pelaksanaannya belum juga keluar. Sehingga membuat kebingungan bagi pelaku usaha,” ujarnya.

Dia berharap, IKPI sebagai asosiasi konsultan pajak terbesar di Indonesia bisa menjembatani apa yang menjadi kekhawatiran para pelaku usaha di sektor ini kepada pemerintah dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak. (bl)

id_ID