SP2DK – Membantu atau Mengganggu Wajib Pajak?

Pengertian SP2DK dan Landasan Hukumnya

Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan (SP2DK) adalah surat resmi yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) kepada Wajib Pajak untuk meminta klarifikasi atas data atau informasi yang mengindikasikan dugaan belum dipenuhinya kewajiban perpajakan.

SP2DK merupakan instrumen pengawasan dalam sistem self-assessment, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dapat menguji kewajaran pelaporan tanpa langsung masuk ke tahap pemeriksaan. SP2DK dipahami sebagai surat klarifikasi awal, bukan surat pemeriksaan ataupun surat ketetapan pajak.

Landasan normatifnya bersumber dari kewenangan DJP dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) untuk meminta data, informasi, dan keterangan kepada Wajib Pajak, serta dari kebijakan pengawasan DJP yang diatur lebih teknis dalam berbagai Surat Edaran Dirjen Pajak tentang pengawasan kepatuhan Wajib Pajak. Dengan demikian, SP2DK adalah instrumen hukum yang sah dan terukur dalam rangka menjaga kepatuhan Wajib Pajak.

Proses SP2DK

Proses SP2DK pada dasarnya dimulai dari analisis data yang dimiliki DJP. Melalui sistem informasi dan data matching (misalnya data SPT, pemotongan/pemungutan, perbankan, transaksi pihak ketiga, dan sumber lain yang sah), fiskus mengidentifikasi adanya ketidaksesuaian atau indikasi kurang lapor. Kasus yang dianggap berisiko kemudian dipilih dan dituangkan dalam bentuk SP2DK yang dikirimkan kepada Wajib Pajak melalui pos, jasa pengiriman, atau disampaikan langsung saat kunjungan. Setelah menerima SP2DK, Wajib Pajak diwajibkan memberikan tanggapan atau penjelasan dalam jangka waktu tertentu, misalnya maksimal 14 hari sejak SP2DK diterima, baik melalui surat tanggapan tertulis maupun dengan datang langsung ke KPP.

Berdasarkan tanggapan dan bukti pendukung yang disampaikan Wajib Pajak, fiskus akan menilai apakah kewajiban perpajakan sudah benar, perlu dilakukan pembetulan SPT dan pembayaran kekurangan, atau justru perlu dinaikkan ke tahap pemeriksaan apabila Wajib Pajak tidak kooperatif atau indikasi ketidakpatuhan tetap kuat. Dengan skema ini, SP2DK menjadi tahap pengawasan awal sebelum DJP menggunakan instrumen pemeriksaan formal.

Hak dan Kewajiban Wajib Pajak terhadap SP2DK

Terhadap SP2DK, Wajib Pajak memikul beberapa kewajiban. Secara umum, UU KUP dan peraturan pelaksanaannya mewajibkan Wajib Pajak untuk menyimpan buku, catatan, dan dokumen, serta memenuhi permintaan data, informasi, dan keterangan dalam jangka waktu tertentu setelah diminta oleh DJP. Dalam konteks SP2DK, kewajiban tersebut terwujud dalam bentuk:

• membaca dan memeriksa isi SP2DK dengan saksama;

• menyiapkan dokumen pendukung (bukti transaksi, rekonsiliasi, perhitungan pajak);

• memberikan tanggapan tertulis atau hadir ke KPP sesuai jangka waktu yang ditentukan; dan

• melakukan pembetulan SPT serta pelunasan kekurangan pajak apabila setelah dianalisis memang terdapat kekeliruan pelaporan.

Di sisi lain, Wajib Pajak juga memiliki hak yang harus dihormati:

• meminta penjelasan atas dasar penerbitan SP2DK dan data yang digunakan;

• didampingi kuasa hukum atau konsultan pajak;

• memperoleh perlakuan yang sopan dan profesional dari fiskus;

• dijamin kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan; serta

• menggunakan jalur keberatan, banding, atau upaya hukum lain jika pada tahap lanjut DJP menerbitkan surat ketetapan yang tidak disetujui.

Dengan memahami hak dan kewajibannya, Wajib Pajak dapat merespons SP2DK secara proporsional dan strategis.

Hak dan Kewajiban Fiskus terhadap SP2DK

Bagi fiskus, SP2DK juga membawa serangkaian hak dan kewajiban. Hak fiskus antara lain:

• meminta penjelasan, data, dan dokumen kepada Wajib Pajak;

• melakukan klarifikasi atas data yang berasal dari pihak ketiga atau instansi lain; dan

• menindaklanjuti hasil SP2DK dengan usulan pemeriksaan apabila Wajib Pajak tidak menanggapi atau indikasi ketidakpatuhan tidak terjawab.

Hak-hak ini bersumber dari kewenangan DJP dalam UU KUP untuk menghimpun data dan menetapkan pajak yang seharusnya terutang bila ditemukan ketidakwajaran SPT. Namun, hak tersebut harus diimbangi dengan kewajiban fiskus, antara lain:

• menerbitkan SP2DK dengan bahasa yang jelas, spesifik, dan tidak multitafsir;

• menjelaskan sumber data dan logika analisis secara proporsional ketika diminta;

• memberikan kesempatan yang wajar bagi Wajib Pajak untuk menyampaikan penjelasan;

• menjaga kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak; dan

• bersikap profesional, tidak memaksa, serta tidak menjadikan SP2DK sebagai “pemeriksaan terselubung” di luar prosedur formal.

Dengan menyeimbangkan hak dan kewajiban tersebut, fiskus dapat menjadikan SP2DK sebagai sarana pengawasan yang tetap berorientasi pada pelayanan.

Manfaat dan Kerugian SP2DK bagi Wajib Pajak

Bagi Wajib Pajak yang patuh atau beritikad baik, SP2DK sesungguhnya membawa sejumlah manfaat.

Pertama, SP2DK berfungsi sebagai early warning system yang memberi kesempatan bagi Wajib Pajak untuk mengecek kembali kepatuhan pajaknya sebelum DJP masuk ke tahap pemeriksaan, yang biasanya berujung pada sanksi yang lebih berat. Artinya, Wajib Pajak dapat melakukan pembetulan SPT secara sukarela dengan sanksi yang relatif lebih ringan dibanding jika kekurangan pajak ditemukan dalam pemeriksaan.

Kedua, melalui dialog SP2DK, Wajib Pajak dapat memperoleh edukasi teknis dan memahami area-area yang selama ini berisiko.

Namun, dari sisi Wajib Pajak, SP2DK juga berpotensi menimbulkan kerugian atau beban, antara lain munculnya rasa khawatir, kebutuhan alokasi waktu dan biaya (misalnya untuk pendampingan konsultan), ketidaknyamanan jika bahasa surat kurang komunikatif, atau risiko terjadinya kesalahpahaman atas data yang digunakan fiskus sehingga mendorong koreksi yang dirasa kurang adil. Oleh karena itu, manfaat SP2DK akan optimal jika diimbangi dengan komunikasi yang baik dan sikap kooperatif dari kedua belah pihak.

SP2DK Membantu atau Mengganggu Wajib Pajak?

Pertanyaan apakah SP2DK lebih banyak membantu atau mengganggu Wajib Pajak pada akhirnya sangat ditentukan oleh dua faktor utama: niat dan perilaku Wajib Pajak, serta cara fiskus mengimplementasikannya.

Bagi Wajib Pajak yang berupaya patuh, SP2DK dapat dianggap sebagai pengingat resmi yang membantu mengidentifikasi kesalahan administratif atau kekeliruan perhitungan sebelum menjadi sengketa. Dalam perspektif manajemen risiko, menerima SP2DK dan segera menanggapinya dapat menjadi bagian dari tata kelola yang baik.

Sebaliknya, SP2DK akan dirasakan mengganggu apabila disampaikan tanpa komunikasi awal yang memadai, menggunakan bahasa yang terkesan mengancam, meminta data yang terlalu luas dan tidak proporsional, atau ditindaklanjuti secara kaku tanpa mempertimbangkan penjelasan dan itikad baik Wajib Pajak.

Dengan demikian, secara konseptual SP2DK dirancang untuk membantu menyehatkan kepatuhan pajak, tetapi dalam praktik bisa berubah menjadi gangguan bila tidak dijalankan dengan prinsip kejelasan, kewajaran, dan cooperative compliance.

Usulan bagi Fiskus dalam Melaksanakan SP2DK

Agar SP2DK benar-benar menjadi instrumen yang membantu, bukan menakutkan, beberapa perbaikan dapat dipertimbangkan oleh fiskus.

Pertama, penerapan prinsip risk-based approach dan materialitas: SP2DK sebaiknya difokuskan pada perbedaan data yang signifikan secara nilai maupun risiko, sehingga Wajib Pajak tidak merasa “diburu” untuk hal-hal yang sangat kecil.

Kedua, memperbaiki kualitas komunikasi dengan mengedepankan pendekatan edukatif: sebelum atau bersamaan dengan SP2DK, fiskus dapat melakukan kontak awal melalui panggilan telepon, e-mail resmi, atau kanal DJP Online sehingga Wajib Pajak memahami konteks data yang dipermasalahkan.

Ketiga, menyusun SP2DK dengan format yang lebih informatif, misalnya mencantumkan ringkasan perbandingan data (data DJP versus data SPT) secara sederhana.

Keempat, memperkuat kompetensi soft skill Account Representative dan pemeriksa dalam hal komunikasi, negosiasi, serta pemahaman bisnis Wajib Pajak, sehingga diskusi SP2DK bersifat solutif, bukan sekadar formalitas.

Kelima, mengukur keberhasilan SP2DK bukan hanya dari besarnya koreksi penerimaan, tetapi juga dari peningkatan kepatuhan sukarela dan kepuasan Wajib Pajak. Dengan demikian, SP2DK dapat benar-benar menjadi jembatan menuju hubungan otoritas pajak dan Wajib Pajak yang lebih kooperatif dan berkelanjutan.

Penulis adalah Anggota Departemen Humas, IKPI

Donny Danardono

Email: donnydanardono@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID