Setahun Pemerintahan Prabowo-Gibran, DJP Gelontorkan Sederet Insentif Pajak 

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan memastikan kebijakan fiskal di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka tetap berpihak pada dunia usaha dan masyarakat. Beragam insentif, keringanan, dan fasilitas pajak digelontorkan untuk menjaga daya beli, menopang sektor strategis, serta mendorong pemulihan ekonomi yang inklusif.

Lewat unggahan di akun resmi @ditjenpajakri, pemerintah merinci sederet keringanan yang masih berlaku sepanjang tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran. Mulai dari PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) untuk rumah tapak dan kendaraan listrik, hingga PPh 21 DTP bagi pekerja di industri padat karya seperti tekstil, furnitur, dan pariwisata.

“Pemerintah terus hadir melalui kebijakan pajak yang adaptif. Insentif bukan sekadar keringanan, tapi strategi agar ekonomi tetap bergerak,” tulis DJP dalam keterangannya.

Daftar Insentif Pajak Tahun Pertama Pemerintahan Prabowo-Gibran

• PPN DTP atas rumah tapak dan rumah susun

• PPN DTP atas kendaraan listrik dan hybrid

• PPN DTP atas pembelian tiket pesawat

• Pembebasan PPN untuk bahan pokok dan jasa kesehatan

• PPh 21 DTP bagi pekerja sektor alas kaki, tekstil, furnitur, kulit, dan pariwisata

• UMKM beromzet hingga Rp500 juta tetap bebas PPh

• Tarif PPh Final UMKM 0,5% diperpanjang hingga 2029

Di tengah derasnya insentif tersebut, kinerja penerimaan pajak tetap menunjukkan tren membaik.

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, menyampaikan bahwa realisasi penerimaan pajak bruto hingga September 2025 mencapai Rp1.619,2 triliun, naik dari Rp1.588,2 triliun pada periode yang sama tahun lalu.

“Kalau dilihat dari penerimaan neto setelah restitusi, memang sempat tertekan. Tapi tren bulanannya terus naik, bahkan per September masih tumbuh positif,” ujar Bimo di Jakarta.

Secara neto, penerimaan pajak tercatat Rp1.295,28 triliun, turun dibandingkan Rp1.354,86 triliun tahun lalu. Namun, per bulan, DJP mencatat pertumbuhan positif, dengan realisasi September mencapai Rp159,8 triliun, lebih tinggi dari Rp158,3 triliun pada bulan yang sama tahun sebelumnya.

Sektor Industri Masih Jadi Motor Utama

Jika dirinci menurut jenis pajaknya, PPh Pasal 21 tumbuh 1,7% menjadi Rp195 triliun, menandakan pasar tenaga kerja masih bergairah.

PPh Badan juga meningkat signifikan dari Rp287,3 triliun menjadi Rp309,7 triliun, didorong oleh peningkatan laba di sektor pertanian tanaman, ketenagalistrikan, dan pertambangan logam.

Sementara itu, PPN Impor melonjak dari Rp198,9 triliun menjadi Rp229,8 triliun, seiring aktivitas perdagangan luar negeri yang kembali menggeliat.

Namun, PPN Dalam Negeri masih tertekan, turun dari Rp505,2 triliun menjadi Rp497,2 triliun, akibat moderasi konsumsi di sektor ritel.

Berdasarkan sektor usaha, industri pengolahan masih menjadi penopang utama, naik dari Rp443,8 triliun menjadi Rp452,3 triliun. Sektor keuangan juga mencatat kenaikan dari Rp181,1 triliun ke Rp190,3 triliun, sementara pertambangan tumbuh dari Rp181,7 triliun ke Rp185,8 triliun.

Sebaliknya, sektor perdagangan masih lesu dengan penurunan dari Rp376,9 triliun menjadi Rp370,9 triliun, dipengaruhi turunnya penjualan mobil dan barang grosir.

Bimo menilai, data penerimaan pajak kini dapat menjadi “detektor dini” bagi arah ekonomi nasional. “Dari data pajak, kita bisa memprediksi sektor mana yang tumbuh dan mana yang melemah. Ini bisa jadi bahan penting bagi pengambilan kebijakan ekonomi,” ungkapnya.

Ia menambahkan, kebijakan fiskal ke depan akan tetap diarahkan untuk menjaga keseimbangan antara insentif dan penerimaan negara.

“Pajak bukan sekadar pungutan, tapi instrumen pembangunan. Saat ekonomi tumbuh, penerimaan akan ikut kuat,” tegas Bimo. (alf)

id_ID