Revisi Pajak Kripto Dinilai Sudah Tepat, Ikut Ekosistem Finansial Modern

IKPI, Jakarta: Langkah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk merevisi aturan pajak aset kripto mendapat dukungan dari pelaku industri. Tokocrypto menilai, pendekatan baru yang menjadikan kripto sebagai instrumen finansial, bukan lagi sekadar komoditas, adalah langkah tepat dan relevan dengan arah perkembangan teknologi keuangan.

CEO Tokocrypto Calvin Kizana menegaskan bahwa penggunaan kripto sudah jauh melampaui sekadar jual beli aset digital. “Saat ini kripto juga digunakan sebagai instrumen investasi, derivatif, bahkan untuk pengelolaan portofolio digital. Maka, wajar bila perlakuan pajaknya ikut menyesuaikan,” kata Calvin, Jumat (25/7/2025).

Selama ini, pajak atas transaksi kripto merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 63/PMK.03/2022, di mana kripto diperlakukan sebagai komoditas dan dikenakan PPN serta PPh Pasal 22. Namun dengan makin kompleksnya fungsi dan pemanfaatan kripto, DJP berencana mengubah pendekatan tersebut.

Menurut data Kementerian Keuangan, penerimaan negara dari pajak kripto mencapai Rp1,21 triliun hanya dalam tiga bulan pertama tahun 2025. Angka ini menjadi bukti tingginya aktivitas dan potensi sektor kripto dalam ekosistem keuangan digital nasional.

“Kalau kripto sudah naik kelas menjadi bagian dari sistem finansial, tentu pendekatannya tidak bisa lagi sama dengan komoditas biasa,” ujar Calvin.

Ia juga menyoroti pentingnya konsistensi antara perubahan pajak dengan peralihan pengawasan industri kripto dari Bappebti ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). “Ini sinyal kuat bahwa kripto harus dilihat sebagai entitas keuangan. Jadi, regulasinya juga harus mengacu pada standar sektor jasa keuangan,” jelasnya.

Meski mendukung penuh revisi aturan, Tokocrypto mengingatkan pemerintah agar skema pajak yang diterapkan tetap adil dan kompetitif. “Kami sudah menyampaikan kepada Kemenkeu bahwa perlakuan pajak kripto idealnya sejajar dengan pasar modal. Kalau transaksi saham dikenai pajak final yang rendah, kripto pun seharusnya begitu,” kata Calvin.

Menurutnya, jika kripto dipajaki terlalu tinggi atau tidak proporsional, justru bisa menghambat pertumbuhan industri dan membuat investor lari ke luar negeri. “Yang kami harapkan adalah kepastian hukum dan ekosistem yang mendukung pertumbuhan,” tambahnya.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto menyatakan bahwa aturan pajak kripto memang perlu disesuaikan dengan status barunya sebagai instrumen keuangan. “Dulu kripto diperlakukan sebagai komoditas. Tapi sekarang, karena sudah beralih ke sektor keuangan, regulasinya harus ikut berubah,” jelas Bimo.

Dengan klasifikasi baru ini, kemungkinan akan ada penyesuaian skema pajak untuk mencakup aktivitas finansial lainnya yang berbasis kripto, seperti produk investasi terstruktur dan derivatif digital.

Meski begitu, pelaku industri berharap agar kebijakan baru ini tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan dan inklusi digital, bukan semata-mata mengejar penerimaan pajak. (alf)

 

id_ID