IKPI, Jakarta: Nilai pengajuan pengembalian pajak yang tidak dikabulkan otoritas pajak atau refund discrepancy tercatat menurun sepanjang tahun lalu. Kondisi ini terjadi di tengah meningkatnya arus restitusi pajak yang diklaim wajib pajak, seiring perubahan kondisi ekonomi dan perilaku pelaporan.
Berdasarkan Laporan Tahunan 2024, Direktorat Jenderal Pajak mencatat nilai refund discrepancy pada 2024 hanya sebesar Rp16,46 triliun. Angka tersebut turun sekitar 27,93% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai Rp22,84 triliun.
Dalam laporan tersebut dijelaskan, refund discrepancy merupakan jumlah pajak yang berhasil dipertahankan negara setelah dilakukan pemeriksaan atas permohonan restitusi yang diajukan wajib pajak melalui Surat Pemberitahuan (SPT). Penurunan nilai ini mengindikasikan adanya perbaikan kualitas permohonan restitusi serta meningkatnya ketepatan pelaporan pajak.
Secara historis, tren refund discrepancy sempat menunjukkan kenaikan dalam beberapa tahun terakhir. Nilainya tercatat sebesar Rp8,22 triliun pada 2019, meningkat menjadi Rp11,57 triliun pada 2021, lalu sedikit turun ke Rp11,37 triliun pada 2022. Angka tersebut melonjak tajam pada 2023 menjadi Rp22,84 triliun, sebelum akhirnya kembali melandai pada 2024.
Berbanding terbalik dengan refund discrepancy, geliat restitusi pajak justru menunjukkan tren meningkat. Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Bimo Wijayanto, mengungkapkan bahwa nilai restitusi pajak hingga akhir Oktober 2025 melonjak signifikan dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Total restitusi pajak sampai Oktober 2025 tercatat mencapai Rp340,52 triliun, atau meningkat 36,4% dibandingkan realisasi Oktober 2024 yang sebesar Rp249,59 triliun. Kontributor terbesar berasal dari restitusi Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) yang mencapai Rp238,86 triliun, sementara restitusi Pajak Penghasilan (PPh) Badan tercatat Rp93,80 triliun. Pada periode yang sama tahun lalu, restitusi PPN DN masih sebesar Rp192,72 triliun dan PPh Badan Rp52,13 triliun.
“Meningkat jauh dibanding periode yang sama tahun sebelumnya,” ujar Bimo saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR di Jakarta, Rabu (26/11/2025).
Bimo menjelaskan, restitusi pajak dilakukan melalui dua skema utama, yakni melalui mekanisme audit dan pengembalian pendahuluan. Restitusi melalui audit dilakukan dalam jangka waktu maksimal 12 bulan dengan pemeriksaan menyeluruh atas pembukuan dan dokumen perpajakan. Sementara itu, pengembalian pendahuluan diberikan kepada wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu, sehingga proses pencairan dapat dilakukan lebih cepat.
Adapun meningkatnya nilai restitusi tidak semata-mata dipicu oleh pembaruan administrasi. Faktor makroekonomi turut berperan besar, terutama moderasi harga komoditas yang berdampak pada penurunan omzet dan laba perusahaan. Kondisi ini membuat lebih banyak SPT Tahunan berada dalam posisi lebih bayar dan berujung pada pengajuan restitusi.
“Selain faktor harga komoditas, terdapat perubahan perilaku wajib pajak. Jika sebelumnya memilih mengompensasikan kelebihan bayar ke tahun berikutnya, kini banyak yang beralih mengajukan restitusi,” pungkas Bimo.
Kombinasi penurunan refund discrepancy dan meningkatnya restitusi ini mencerminkan dinamika baru dalam pengelolaan pajak nasional, di mana kualitas pengajuan makin membaik, sementara tekanan ekonomi mendorong wajib pajak lebih aktif memanfaatkan hak pengembalian pajak. (alf)
