Reformasi Pajak telah Selamatkan Indonesia

Mochamad Soebakir Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia

Tahun 2003, ia purnatugas setelah hampir 41 tahun bekerja sebagai pegawai pajak. Namun, hingga kini ia belum pensiun berkiprah.

Perjalanan kariernya yang panjang di bidang perpajakan sejak menjadi abdi negara di Inspeksi Pajak Semarang, Kantor Djawatan Pajak tahun 1963 hingga saat ini masih aktif memegang amanah sebagai Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) membuat figur Mochamad Soebakir begitu melekat dan dikenal luas sebagai “orang pajak”.

Sebenarnya pada 1 Oktober 2003 ia telah purnatugas setelah hampir 41 tahun mengabdi dengan pangkat terakhir IV-E dan pernah menduduki berbagai jabatan penting di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai dari kepala kantor pajak, kepala kantor wilayah, direktur, hingga sekretaris DJP. Pengalaman dan keahliannya yang masih dibutuhkan oleh negara sehingga Menteri Keuangan Boediono kala itu tidak memperbolehkannya untuk “istirahat”.

“Setelah pensiun, empat hari kemudian saya ditugaskan sebagai penasihat Dirjen Pajak di era Hadi Purnomo dan Darmin Nasution. Setelah Pak Darmin pensiun, baru saya disetujui untuk lepas,” ungkap Soebakir dalam wawancara khusus dengan Majalah Pajak secara virtual, Jumat (11/06).

Selama menjadi Penasihat Dirjen, ia diperbolehkan untuk menjalankan tugas sebagai konsultan pajak dan sejak 2003 namanya juga tercatat sebagai anggota IKPI. Kemudian diserahi tanggung jawab sebagai Ketua Departemen Pendidikan Internal IKPI dan sekarang menjadi Ketua Umum IKPI untuk dua periode (2014-2024).

“Jadi, saya menjalankan tugas sebagai pegawai pajak selama 40 tahun, kemudian 5,5 tahun sebagai penasihat dirjen. Sedangkan sebagai konsultan pajak selama 18 tahun,” jelasnya.

Momentum reformasi

Dalam suatu kesempatan ketika menjabat sebagai kepala seksi, ia diperbantukan pada pertemuan perpajakan internasional SGATAR (Study Group on Asian Tax Administration and Research) di tahun 1981 yang dihadiri berbagai negara dan Indonesia sebagai tuan rumah. Kegiatan itu dinilai sukses dan mencatatkan namanya sebagai pegawai yang berkompeten.

Pemerintah mengirimnya ke Amerika Serikat (AS) awal tahun 1982 untuk mengikuti program singkat dalam rangka tugas belajar. Kemudian pada 1983, pemerintah memberi tugas di Kantor Pusat DJP karena akan ada reformasi pajak.

Ia turut terlibat dalam proses reformasi pajak mulai awal sampai terbentuk undang-undang selaku anggota Tim Reformasi Perpajakan I khusus untuk Pajak Penghasilan (PPh) dan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Pada Reformasi Pajak II tahun 1993, ia dipindah dari Bali ke Kantor Pusat untuk kembali dilibatkan di Tim Reformasi Pajak Khusus UU PPN dan KUP.

Berlanjut ke Reformasi Pajak ketiga, Soebakir ditunjuk sebagai Wakil Ketua Tim UU KUP. Ketika itu jabatannya sebagai Kakanwil V Jakarta Raya Dua. Seiring berjalannya waktu, ia diangkat sebagai Direktur PPN dan PTLL. Akhirnya ia ditunjuk sebagai Ketua Tim Reformasi PPN.

Reformasi Pajak merupakan momentum penting bagi sejarah Indonesia. Soebakir menuturkan, jumlah penerimaan pajak waktu itu berdasarkan official assessment atau sebelum Reformasi Pajak 1983 kurang dari separuh penerimaan Bea dan Cukai. Kala itu Indonesia masih memiliki kekayaan sumber daya alam dari minyak bumi yang menjadi penyumbang APBN terbesar. Kondisi ini berlangsung hingga tahun 1983. Pada 1984 harga minyak yang ditentukan oleh pasar internasional mulai turun bahkan di tahun 1985 anjlok secara drastis dari sekitar 40 dollar AS menjadi hanya 16 dollar AS.

Pertamina sebagai BUMN yang bergerak di sektor pertambangan minyak tentu sangat terdampak karena saat itu Indonesia sebagai eksportir minyak. Beruntungnya pemerintah sudah melakukan Reformasi Pajak sebelum harga minyak anjlok dan tak lagi menjadi andalan ekspor.

Seiring penerapan sistem self-assessment, sejak 1984 penerimaan pajak mulai naik. Pemerintah sudah memandang jauh ke depan sehingga mampu mengambil kebijakan yang tepat. Saat ini pajak bahkan menjadi penopang utama APBN.

“Saya mengapresiasi kebijakan pemerintah. Karena tanpa Tax Reform 1983, mungkin utang Indonesia jumlahnya lebih banyak lagi. Sekarang penerimaan bea cukai jauh di bawah pajak,” urainya.

Penanganan pandemi

Terkait Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) untuk mengantisipasi dampak pandemi, ia menilai langkah pemerintah dalam pemberian insentif sudah tepat dan menunjukkan kepedulian terhadap kondisi perekonomian terutama masyarakat yang paling terdampak. Menurutnya, langkah pemerintah ini perlu didukung.

Pemerintah telah memberikan insentif pajak di tahap pertama dalam rangka PEN sampai akhir 2020. Kemudian pada Februari 2021 muncul peraturan menteri keuangan (PMK) berikutnya untuk meneruskan program insentif pajak. Sedangkan di Januari 2021 tidak ada aturan yang diterbitkan maupun kegiatan sosialisasi pendahuluan untuk PMK Nomor 9 yang terbit di Februari 2021 yang memberikan keringanan sampai Juni 2021.

Namun, Soebakir menyayangkan kurangnya sosialisasi atas peraturan yang diterbitkan, sehingga banyak masyarakat tidak mengetahui dan akhirnya tidak terserap dengan optimal. Padahal, pemerintah sudah beriktikad baik untuk membantu masyarakat melalui program insentif pajak. PMK yang terbit pada 1 Februari 2021 juga bersamaan waktunya dengan pelaporan SPT. Padahal, untuk mendapatkan insentif harus memenuhi persyaratan salah satunya melaporkan omzet.

Soebakir juga menyoroti penetapan Kelompok Lapangan Usaha (KLU) yang harus sama dengan KLU tahun 2019 sebagai syarat untuk bisa mengajukan permohonan insentif. KLU yang tidak sama membutuhkan waktu 3 sampai 4 bulan untuk pengurusannya. Oleh karena waktunya mendadak, jelas Soebakir, tidak ada kesempatan lagi dan akibatnya insentif yang disediakan tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh masyarakat. Ia mengatakan, situasi pandemi saat ini sungguh luar biasa. Untuk itu perlu ditangani dengan cara-cara luar biasa pula dan tidak setengah-setengah.

“IKPI usulkan jangan jadikan KLU sebagai syarat. Itu benar-benar menunda kesempatan untuk dapat insentif. Akibatnya yang memanfaatkan insentif ini tidak maksimal,” ujarnya.

Ia juga menyoroti pemberian insentif pajak terkait Pajak Penghasilan (PPh) Final Jasa Konstruksi yang ditanggung pemerintah. Insentif ini jarang yang mengambil karena bukan untuk jasa konstruksi secara luas melainkan hanya pada Proyek Percepatan Peningkatan Prasarana Air dan Irigasi.

“Yang menjalankan proyek prasarana air dan irigasi itu sedikit. Kenapa tidak jasa konstruksi semuanya, asalkan yang padat karya,”ujarnya.

Makna Hari Pajak

Memperingati Hari Pajak pada 14 Juli 2021, Soebakir mengajak masyarakat untuk menghargai jasa para pejuang kemerdekaan. Salah satu tokoh yang berperan penting adalah Radjiman Wedyodiningrat yang pertama kali mencetuskan kata pajak dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebelum akhirnya disampaikan dalam Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 dan ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila.

Ia mengingatkan, pajak dipungut oleh negara dari uang rakyat. Oleh karenanya,  uang yang diambil dari kantong rakyat harus masuk ke kas negara.

“Pejabat pajak berkewajiban membina Wajib Pajak agar mereka taat pajak. Karena ketika bisnisnya rugi mereka hanya dibantu sekadar dibebaskan pajaknya. Tapi kalau untung, sekian persen harus masuk kas negara,” tegasnya.

Bagikan Berita Ini
id_ID