IKPI, Jakarta: Tahun pajak 2026 menjadi momentum penting bagi Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa. Untuk pertama kalinya, seluruh kebijakan perpajakan berjalan penuh di bawah kendalinya sejak dilantik Presiden Prabowo Subianto pada September 2025.
Di tengah target penerimaan pajak yang cukup menantang, yakni Rp2.357,7 triliun atau naik 7,69% dibandingkan tahun ini, Purbaya justru menegaskan tidak akan menambah beban pajak baru. Tidak ada kenaikan tarif, tidak ada perluasan objek, dan tidak ada pungutan baru yang tiba-tiba muncul.
Menurutnya, kebijakan menaikkan pajak justru kontraproduktif jika kondisi ekonomi belum benar-benar kuat. “Kalau dipaksa naik, penerimaan malah bisa turun,” ujarnya. Pemerintah baru akan membuka kemungkinan penyesuaian tarif ketika ekonomi mampu tumbuh stabil di atas 6%. Selama ini, pertumbuhan masih berkisar 5% secara tahunan.
Karena itu, strategi 2026 lebih banyak bertumpu pada efisiensi dan perbaikan administrasi ketimbang menambah tarif. Salah satu tumpuannya adalah sistem inti administrasi perpajakan Coretax. Sistem digital ini diharapkan mempermudah pelayanan, memperkuat pengawasan, dan mengefektifkan penagihan. Mulai 2026, seluruh pelaporan SPT Tahunan orang pribadi maupun badan diarahkan masuk melalui Coretax.
Di saat yang sama, Indonesia juga memasuki babak baru perpajakan global dengan berlakunya pajak minimum global (Global Minimum Tax/GMT). Perusahaan multinasional beromzet besar yang membayar pajak di bawah 15% di negara tempat mereka beroperasi akan dikenai pajak tambahan. Skema ini dirancang untuk menutup praktik penghindaran pajak lintas negara dan memastikan kontribusi lebih adil.
Kebijakan penguatan data perpajakan turut dipersiapkan. Revisi aturan Automatic Exchange of Information (AEOI) akan memperluas cakupan pelaporan rekening keuangan, termasuk produk uang elektronik, dompet digital, hingga aset kripto. Pemerintah menyesuaikan standar internasional, sambil memastikan tata kelola dan pencegahan duplikasi pelaporan tetap terjaga.
Di sisi lain, pemerintah memilih menunda pungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi pedagang di marketplace. Aturan yang sebelumnya direncanakan berlaku 2026 itu ditangguhkan sampai ekonomi benar-benar mampu menembus pertumbuhan 6%. Pemerintah tidak ingin ekosistem UMKM digital kehilangan napas hanya karena terbentur aturan pajak.
Berbagai insentif juga tetap digelontorkan. Pekerja sektor padat karya dan pariwisata dengan gaji hingga Rp10 juta masih memperoleh fasilitas PPh 21 Ditanggung Pemerintah. Total penerima diperkirakan mencapai 2,22 juta orang dengan nilai anggaran lebih dari Rp1 triliun. Pemerintah berharap kebijakan ini menjaga daya beli sekaligus menopang keberlangsungan usaha.
Insentif PPN Ditanggung Pemerintah untuk pembelian rumah tapak dan rumah susun juga diperpanjang hingga 31 Desember 2027. Perpanjangan ini dinilai memberi efek pengganda besar bagi sektor konstruksi, properti, dan industri turunannya. Sementara untuk investasi, tax holiday tetap berlanjut, namun menyesuaikan standar pajak minimum global. Pembebasan pajak tidak lagi 100%, melainkan diselaraskan dengan batas 15% agar Indonesia tidak justru “mensubsidi” negara lain.
Secara keseluruhan, arah kebijakan 2026 tampak jelas yakni menjaga stabilitas, memperkuat administrasi, dan mendukung kegiatan ekonomi tanpa menambah beban pajak. Pemerintah memilih membiarkan ekonomi berlari lebih cepat terlebih dahulu, baru kemudian menimbang ruang penyesuaian tarif di masa mendatang. (alf)
