Potensi Multitafsir Keberlakuan UU Cipta Kerja Klaster Perpajakan di UU HPP

Jakarta: Kamis 29 September 2022

Pada tanggal 29 Oktober 2021 pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang selanjutnya disebut UU HPP. Dalam UU HPP mengatur: pertama, perubahan UU KUP; kedua, perubahan UU PPh; ketiga, perubahan UU PPN; keempat, mengatur tentang Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak; kelima, mengatur mengenai Pajak Karbon; dan keenam, mengatur perubahan UU Cukai.

Dalam UU HPP, judul untuk perubahan UU KUP, UU PPh, dan UU PPN secara substansi menyatakan bahwa “UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah adalah UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang sebelum Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”. Dimana menyebutkan:  UU Nomor 16 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU KUP, UU  Nomor 36 Tahun 2008 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPh, dan menyebutkan UU Nomor 42 Tahun 2009 sebagai perubahan terakhir untuk UU PPN. Padahal sebelum lahirnya UU HPP, UU Cipta Kerja adalah perubahan terakhir untuk UU KUP, UU PPh, dan UU PPN.

Judul dalam Pasal 2 UU HPP ini sama persis dengan judul yang dicantumkan dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu timbul pertanyaan, bagaimana keberlakuan atas Pasal UU KUP yang telah diubah di UU Cipta Kerja, namun tidak diubah oleh UU HPP?

Dalam penafsiran hukum, judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP akan bermakna bahwa “UU HPP mengubah UU KUP yang telah mengalami beberapa kali perubahan dan yang terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, sehingga tidak termasuk UU KUP yang telah diubah dengan Pasal 113 UU Cipta Kerja.

Sesuai asas Lex Posterior Derogat Legi Priori, maka undang-undang yang terakhir membatalkan undang-undang sebelumnya dalam hal mengatur hal yang sama. Karena Pasal 2 UU HPP dan Pasal 113 UU Cipta Kerja sama-sama “mengubah UU KUP dan perubahannya, yang perubahan terakhir diubah dengan UU Nomor 16 Tahun 2009”, maka sesuai dengan asas Lex Posterior Derogat Legi Priori dapat ditafsirkan bahwa “Pasal 2 UU HPP yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2021 membatalkan Pasal 113 UU Cipta Kerja yang diundangkan pada tanggal 2 November 2020”. Pasal 2 UU HPP berpotensi ditafsirkan membatalkan keberlakuan perubahan UU KUP dalam Pasal 113 UU Cipta Kerja. Oleh karena itu, rumusan judul dalam materi muatan Pasal 2 UU HPP telah menimbulkan kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum yang dapat memberikan pengaruh negatif terhadap iklim investasi dalam negeri.

Kekaburan hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP, karena judul perubahan UU PPh dalam Pasal 3 UU HPP sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 111 UU Cipta Kerja. Kekaburan hukum dan ketidakpastian hukum juga dialami oleh UU PPN dalam Pasal 4 UU HPP, karena judulnya sama persis dengan yang dicantumkan dalam Pasal 112 UU Cipta Kerja.

Kekaburan hukum yang terjadi dalam UU HPP untuk klaster perpajakan sedikit mendapat koreksi dengan adanya pengaturan dalam ketentuan penutup di Pasal 16 huruf f UU HPP yang mengatur bahwa UU Cipta Kerja dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan UU HPP atau belum diganti berdasarkan UU HPP.

Dunia usaha tentu sangat membutuhkan kepastian hukum yang tidak menimbulkan multitafsir atas keberlakuan perubahan terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang terdapat dalam UU Cipta Kerja yang tidak diubah oleh UU HPP. Oleh karena itu guna memberikan kepastian hukum dan mencegah potensi multitafsir, dipandang perlu pemerintah mempertimbangkan untuk “membuat perubahan terhadap Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP” dengan mengubah judul dalam ketiga pasal tersebut dengan mencantumkan UU Cipta Kerja sebagai UU perubahan terakhir terhadap UU KUP, UU PPh, dan UU PPN yang diubah oleh UU HPP. Secara pararel, perbaikan perubahan juga perlu dilakukan terhadap Pasal 1 ayat (3) UU HPP karena materi muatannya sama persis dengan judul dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU HPP.

Pemerintah dapat mempertimbangkan cara tercepat untuk melakukan perbaikan dengan cara pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Baru kemudian Perppu tersebut disetujui oleh DPR menjadi Undang-Undang.


(Disclaimer: Artikel ini bukan dasar hukum)

Penulis : Dr. Arifin Halim, S.E., S.H., M.H.

Penulis lulus Program Doktor Ilmu Hukum Angkatan 2018 Universitas Brawijaya.

Anggota Litbang IKPI Pusat Kepengurusan Periode 2019 – 2024.

Konsultan Pajak, Kuasa Hukum Pengadilan Pajak, dan Advokat.

id_ID