IKPI, Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memperkirakan potensi dana filantropi nasional dapat mencapai Rp649,5 triliun hingga Rp665,5 triliun per tahun. Namun, untuk mengoptimalkan potensi tersebut, para pelaku filantropi menilai perlunya dukungan nyata dari pemerintah, terutama dalam bentuk insentif perpajakan.
Ketua Badan Pengurus Filantropi Indonesia, Rizal Algamar, menyebut Indonesia memiliki kekuatan sosial yang besar dalam budaya memberi. Namun potensi itu belum tergarap maksimal karena insentif fiskal yang ada dinilai belum cukup menarik.
“Kalau kegiatan filantropi seperti donasi, zakat, atau wakaf didukung oleh skema insentif pajak yang jelas dan progresif, saya yakin potensi yang sekarang diperkirakan Rp600 triliun lebih bisa jauh meningkat,” kata Rizal usai membuka Filantropi Festival 2025, Senin (4/8/2025).
Ia menambahkan, insentif pajak dapat mendorong lebih banyak entitas baik individu maupun korporasi terlibat aktif dalam kegiatan sosial. “Dengan adanya stimulus fiskal, bukan hanya skala donasi yang bertambah, tapi juga akuntabilitas dan transparansinya meningkat,” ujarnya.
Zakat sebagai Pengurang Pajak, Bukan Penerimaan Negara
Berdasarkan data Bappenas, potensi terbesar dana filantropi nasional berasal dari:
• Zakat, infaq, dan sedekah: Rp327 triliun
• Wakaf: Rp180 triliun
• Filantropi Kristen/Katolik: Rp61 triliun
• Filantropi agama lainnya: Rp1,5 triliun
• CSR korporasi: Rp80–96 triliun
Namun, sebagian besar sumber dana tersebut terutama zakat dan wakaf tidak masuk dalam kategori penerimaan negara.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat, zakat tidak dikenakan pajak, tetapi hanya diperhitungkan sebagai pengurang penghasilan kena pajak, bukan sebagai kredit pajak atau pengurang langsung kewajiban pajak.
Hal ini berarti para wajib pajak tetap membayar pajak, meski telah menunaikan zakat, yang secara teknis hanya meringankan beban pajak secara parsial. Ketentuan ini dinilai belum cukup memberikan dorongan kuat bagi tumbuhnya kegiatan filantropis dalam skala besar.
Sertifikasi Filantropi sebagai Indikator Pajak ESG
Sebagai respons, pemerintah melalui Bappenas tengah merancang sistem sertifikasi filantropi, terutama yang berkaitan dengan pencapaian Sustainable Development Goals (SDG).
Deputi Bidang Pangan, SDA, dan Lingkungan Hidup Bappenas, Leonardo Teguh, menjelaskan bahwa sertifikasi ini bisa menjadi dasar pengakuan formal atas kontribusi sosial, sekaligus alat bantu dalam penghitungan indikator pajak keberlanjutan seperti Environmental, Social, and Governance (ESG).
“Nantinya, sertifikasi ini bisa diintegrasikan ke dalam laporan ESG perusahaan, yang bisa menjadi bahan pertimbangan fiskal, termasuk pengurangan pajak atau insentif lainnya,” ujar Leonardo.
Meski belum diatur dalam regulasi pajak saat ini, usulan untuk menjadikan kontribusi filantropi sebagai dasar pemberian insentif fiskal dinilai sejalan dengan arah reformasi pajak berkeadilan dan pembangunan yang inklusif.
Dorongan Regulasi Pajak yang Ramah Filantropi
Para pemangku kepentingan berharap pemerintah dapat meninjau kembali kebijakan pajak terhadap kegiatan sosial. Bentuk insentif bisa berupa pengurang pajak yang lebih besar, pembebasan pajak atas donasi tertentu, atau bahkan pengkreditan langsung terhadap kewajiban pajak, terutama untuk entitas yang sudah tersertifikasi kontribusinya terhadap SDG.
Jika regulasi mendukung, Indonesia bukan hanya akan menjadi negara paling dermawan di dunia secara kultural, tetapi juga menjadi model perpajakan yang mendorong kesejahteraan sosial secara sistematis dan terukur.(alf)