IKPI, Jakarta: Lonjakan transaksi perdagangan digital di Indonesia akhirnya mendorong pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025. Aturan ini menugaskan marketplace menjadi pemungut pajak atas transaksi para pedagang online (merchant) dengan tarif 0,5 persen.
Kepala Grup Tax BCA, Yuandri Martua Philip, menyebut PMK 37/2025 sebagai tonggak penting dalam reformasi perpajakan digital. Menurutnya, regulasi ini bukanlah pajak baru, melainkan mekanisme untuk menutup celah yang selama ini membuat banyak transaksi e-commerce lolos dari radar pajak.
“Sebelumnya, ketika marketplace membayar hasil penjualan kepada merchant, 100 persen diteruskan tanpa potongan pajak. Hanya dipotong biaya manajemen. Dengan PMK 37, marketplace ditunjuk sebagai pemungut pajak. Jadi nomor 12 sampai 100 yang selama ini bebas, kini mulai bisa tersentuh,” kata Yuandri dalam Seminar Perpajakan di Perbanas Institute, Selasa (16/9/2025).
Yuandri menjelaskan, aturan ini merupakan kelanjutan dari wacana sejak 2013 ketika Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menerbitkan Surat Edaran 62. Saat itu, pemajakan e-commerce hanya menyentuh penyelenggara marketplace, bukan pedagang di dalamnya. Upaya lanjutan melalui PMK 210/2018 sempat ditolak keras oleh asosiasi e-commerce dan akhirnya dibatalkan.
“Dari situ kita belajar. Penolakan terjadi karena kurang sosialisasi dan pemahaman. Sekarang pemerintah sudah jauh lebih matang, ada edukasi, ada komunikasi, dan yang paling penting: penekanan bahwa ini bukan pajak baru. Sama sekali tidak menaikkan harga barang. Hanya mekanisme pemungutan yang berbeda,” jelasnya.
Dalam PMK 37, marketplace besar yang memiliki omzet lebih dari Rp600 juta per tahun atau trafik lebih dari 12 ribu akses per tahun wajib menjadi pemungut pajak. Bahkan marketplace luar negeri juga bisa ditunjuk apabila memenuhi kriteria. Bukti pemungutan pajak cukup berupa invoice digital yang diterbitkan marketplace, sehingga bisa dikreditkan oleh wajib pajak badan maupun UMKM.
Namun, Yuandri menegaskan tantangan terbesar bukan pada regulasi, melainkan pada kesiapan sistem dan keamanan data.
“Marketplace harus menyiapkan sistem pemungutan, ini butuh biaya. Lalu, keamanan data juga sangat penting. Jangan sampai terjadi kebocoran data nasabah atau pedagang. Kalau dua hal ini terjaga, aturan bisa berjalan mulus,” ungkapnya.
Yuandri menambahkan, PMK 37/2025 juga punya tujuan besar: menciptakan level playing field antara pelaku usaha digital dan konvensional. Selama ini, perusahaan besar selalu taat memotong dan menyetor pajak ketika menggunakan jasa luar negeri, sementara individu yang bertransaksi dengan platform global seperti Google atau Facebook sering luput dari kewajiban.
“Dengan aturan ini, fairness bisa lebih tercapai. Semua yang menikmati pertumbuhan ekonomi digital ikut berkontribusi. Inilah cara menutup kebocoran, sambil memastikan teko pajak kita terisi penuh,” ujarnya. (bl)