IKPI, Jakarta: Seorang perempuan muda asal Pakistan, Mahnoor Omer, menjadi sorotan publik setelah berani menantang negaranya sendiri lewat sebuah petisi yang mengguncang: ia menuntut penghapusan “pajak menstruasi”beban fiskal yang selama ini membuat pembalut wanita menjadi barang mahal di Pakistan.
Mahnoor, seorang pengacara muda yang vokal memperjuangkan keadilan gender, mengajukan petisi tersebut pada September lalu. Ia menilai, kebijakan pajak yang dikenakan terhadap produk kebersihan perempuan bukan hanya tidak adil, tapi juga mencerminkan diskriminasi negara terhadap kebutuhan biologis setengah populasi rakyatnya.
Berdasarkan Undang-Undang Pajak Penjualan Pakistan Tahun 1990, pemerintah mengenakan pajak 18 persen untuk pembalut lokal, serta bea impor hingga 25 persen bagi produk dari luar negeri. Bahkan bahan baku pembuatan pembalut pun ikut dikenai pajak. Alhasil, menurut perhitungan UNICEF Pakistan, total beban pajak yang menempel pada produk kebersihan perempuan bisa mencapai 40 persen.
“Rasanya seperti perempuan melawan negara Pakistan,” ujar Mahnoor kepada media internasional dikutip, Minggu (26/10/2025) menggambarkan frustrasinya terhadap sistem yang seolah menghukum perempuan hanya karena mereka menstruasi.
Dampak kebijakan ini sangat nyata. Studi UNICEF dan WaterAid tahun 2024 menemukan, hanya 12 persen perempuan Pakistan yang menggunakan pembalut komersial. Sebagian besar lainnya terpaksa memakai kain bekas atau bahan seadanya — bukan karena pilihan, tetapi karena harga pembalut yang terlalu mahal.
Mahnoor mengaku, sejak kecil ia telah merasakan stigma dan tekanan sosial terkait menstruasi. “Saya biasa menyembunyikan pembalut di lengan seragam, seperti sedang menyelundupkan narkoba ke kamar mandi,” kenangnya getir. “Jika ada yang membicarakan menstruasi, guru akan menegur seolah itu hal memalukan.”
Meski lahir di keluarga kelas menengah di Rawalpindi, Mahnoor tetap merasakan betapa tabu dan mahalnya isu ini. Ia bahkan mengingat ucapan teman sekelasnya, bahwa ibunya menganggap pembalut sebagai “pemborosan uang.”
“Itu membuat saya sadar, jika keluarga menengah saja berpikir seperti itu, bayangkan betapa sulitnya perempuan dari keluarga miskin,” ujarnya.
Kini, harga satu bungkus pembalut bermerek di Pakistan mencapai 450 rupee (sekitar Rp26 ribu) untuk 10 lembar. Di negara dengan pendapatan per kapita hanya sekitar Rp1,9 juta per bulan, harga tersebut setara dengan biaya makan satu keluarga beranggotakan empat orang dari kalangan berpenghasilan rendah.
Omer berharap, jika pajak 40 persen itu dihapus, perempuan di seluruh Pakistan bisa mengakses produk kebersihan dengan harga lebih manusiawi. “Menstruasi bukan kemewahan,” tegasnya.
“Tidak seharusnya perempuan dihukum karena memiliki tubuh yang berfungsi sebagaimana mestinya.”
Dengan keberanian dan suaranya yang lantang, Mahnoor Omer kini menjadi simbol perlawanan perempuan muda Pakistan terhadap ketidakadilan yang terbungkus dalam aturan ekonomi. Sebuah perjuangan sederhana namun berani menuntut negara agar tak lagi menjadikan darah perempuan sebagai sumber pendapatan. (alf)
