IKPI, Jakarta: Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Salah satu hal yang dibahas di dalamnya adalah kenaikan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB).
PBBKB merupakan pajak yang dipungut Pemprov DKI atas penggunaan bahan bakar kendaraan. Adapun objek PBBKB merupakan penyerahan bahan bakar dari penyalur kepada konsumen. Pasal 23 Perda 1/2024 menyebut, dasar pengenaan PBBKB berdasarkan nilai jual BBKB sebelum dikenakan pajak pertambahan nilai (PPn).
Selanjutnya dalam Pasal 24, tertulis bahwa tarif PBBKB ditetapkan sebesar 10%, naik dari PBBKB sebelumnya yang ditetapkan sebesar 5%. Sedangkan tarif PBBKB untuk bahan bakar kendaraan umum ditetapkan sebesar 50% dari tarif PBBKB untuk kendaraan pribadi.
“Besaran pokok PBBKB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan dasar pengenaan PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 dengan tarif PBBKB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,” bunyi Pasal 25 Perda 1/2024, dikutip dari dokumen aturan tersebut, Minggu (28/1/2024).
Harga BBM Ikut Terkerek Naik
Anggota Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Saleh Abdurrahman mengatakan, kenaikan PBBKB akan berpengaruh ke harga BBM nonsubsidi di DKI Jakarta.
“Karena pajak itu komponen pembentuk harga jual eceran BBM non subsidi, maka jika dari 5% naik jadi 10% tentu ada dampaknya terhadap harga jual eceran BBM nonsubsidi,” kata Saleh, kepada seperti dikutip dari detikcom, Senin (29/1/2024).
Saleh menerangkan, pengaruh pajak tersebut terhadap harga BBM nonsubsidi sendiri bisa terlihat dari perbedaan harga jual BBM di sejumlah daerah.
Meski harga BBM nonsubsidi berpotensi naik, Saleh optimistis kondisi ini tidak akan mendorong terjadinya perpindahan konsumen dari yang semula menggunakan BBM nonsubsidi, ke BBM subsidi.
“Ya harga BBM nonsubsidi kan fluktuatif, kadang naik juga turun. Masyarakat yang selama ini sudah pakai BBM ramah lingkungan, sudah muncul kesadaran, semoga tetap menggunakannya (BBM non subsidi),” ujarnya.
Bisa Bikin Orang Beralih ke EV?
Pengamat Pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, kenaikan pajak dengan perspektif untuk mengurangi konsumsi BBM serta mendorong peralihan ke energi terbarukan merupakan hal yang perlu didukung. Namun menurutnya, perlu diperhatikan pula efektivitas dari penerapan kebijakan baru tersebut.
“Tetapi, kalau BBM naik tapi masyarakatnya enggan beralih ke motor listrik karena fasilitas pendukungnya kurang, ini cuma menjadi beban tambahan bagi masyarakat,” ujar Fajry kepada detikcom, Minggu (28/1/2024).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menilai, kenaikan tersebut kecil dampaknya dalam mempengaruhi masyarakat beralih ke kendaraan listrik (electric vehicle/EV).
Di samping harga BBM itu sendiri, menurutnya ada banyak faktor yang lebih mempengaruhi peralihan masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan listrik. Salah satunya ialah biaya pembelian dan operasional EV.
“Pertama adalah kendaraan listrik sendiri masih relatif mahal, terutama masalah convenience-nya, ekosistemnya, terutama charging station-nya dan lain-lain, masih relatif terbatas. Itu juga sebabnya maka sensitivitasnya atau dampaknya ke kendaraan listrik masih relatif kecil,” jelas Faisal, dihubungi terpisah.
Karena harga EV yang relatif mahal, menurutnya saat ini pengguna EV dominan di level kalangan menengah ke atas, khususnya mobil. Menurutnya, pertimbangan konsumen bukan hanya harga beli, tetapi juga ekosistem pengisian daya yang masih terbatas.
“Kalau di rumah juga pada umumnya kan berarti membutuhkan charging listrik, relatif meningkatkan konsumsi (listrik) kalau charge di rumah” katanya.
“Jadi pertimbangannya relatif cukup banyak. Menurut saya dampaknya dari kenaikan pajak ini belum terlalu kuat mendorong masyarakat ke kendaraan listrik. Bisa jadi yang naik adalah ke (penggunaan) public transportation yang sudah semakin banyak, kalau di Jakarta,” pungkasnya. (bl)