IKPI, Jakarta: Pemerintah mulai menerapkan pendekatan yang lebih selektif dalam pemberian insentif fiskal, dengan mengaitkannya pada kualitas iklim usaha dan kebersihan pasar keuangan. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa bahkan menegaskan bahwa insentif pajak di pasar modal hanya akan mengalir jika OJK dan BEI mampu menindak pelaku “saham gorengan.”
Pernyataan itu menandai babak baru insentif tidak lagi diberikan sekadar untuk mendorong investasi, tetapi sebagai leverage pemerintah untuk mendorong tata kelola ekonomi yang lebih bersih.
“Kalau dalam enam bulan ada penindakan jelas terhadap pelaku saham gorengan, insentif akan kami keluarkan lebih cepat,” kata Purbaya dalam Financial Forum di BEI, baru-baru ini.
Ia menjelaskan, langkah tersebut diperlukan agar investor ritel masuk ke pasar yang lebih adil dan tidak terjebak manipulasi harga yang selama ini menggerus kepercayaan publik.
Di luar pasar modal, pemerintah juga menargetkan ketertiban perdagangan fisik. Purbaya menegaskan komitmen memperketat pengawasan impor ilegal, mulai dari tekstil thrifting hingga baja murah yang dinilai merusak industri domestik dan menggerus basis pajak jangka panjang.
“Saya jaga border-nya, karena ini langsung berdampak pada domestic demand dan basis pajak kita,” tegasnya.
Pendekatan baru pemerintah ini semakin relevan mengingat belanja perpajakan Indonesia melonjak signifikan. Pada 2025, nilai insentif diproyeksikan naik 32,5% menjadi Rp530,3 triliun. Di sisi lain, DJP mencatat bahwa kebijakan fiskal menyumbang policy gap sebesar Rp396 triliun per tahun sepanjang 2016–2021.
Artinya, pemerintah kini tidak hanya mempertahankan insentif sebagai alat pengungkit pertumbuhan ekonomi seperti yang ditegaskan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dalam Rapimnas Kadin tetapi juga sebagai alat kontrol. “Insentif ini akan efektif jika ekosistemnya bersih. Kalau pasar modal dan industri kita sehat, multiplier effect-nya jauh lebih tinggi,” ujar Airlangga.
Dengan demikian, insentif fiskal Indonesia memasuki fase baru: tidak diberikan merata, tetapi disesuaikan dengan kualitas tata kelola sektor penerima. Untuk pertama kalinya, pemerintah mengaitkan keringanan pajak dengan agenda penegakan hukum, integritas pasar, hingga perlindungan industri lokal.
Kebijakan ini dinilai para analis sebagai sinyal bahwa pemerintah ingin mengurangi kebocoran ekonomi, memastikan insentif tidak dinikmati oleh pelaku yang tidak berkontribusi terhadap kualitas perekonomian, serta mendorong pertumbuhan yang lebih sehat dan kompetitif menuju 2026. (alf)
