Pemerintah Pastikan Faskes dan Pengobatan Bukan Objek Pajak

Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Iwan Djuniardi, menyampaikan keterangan Pemerintah dalam sidang lanjutan pengujian UU HPP, pada Selasa (19/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. (Foto: Humas/Panji)

IKPI, Jakarta: Sebagai wujud keberpihakan negara terhadap pegawai yang berpenghasilan menengah ke bawah, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) telah mengatur natura dan/atau kenikmatan dengan jenis atau batasan tertentu dikecualikan dari penghasilan yang dikenakan pajak. Demikian keterangan Presiden/Pemerintah yang disampaikan oleh Staf Ahli Bidang Peraturan dan Penegakan Hukum Pajak Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Iwan Djuniardi, dalam sidang lanjutan pengujian UU HPP, pada Selasa (19/9/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta. Leo mendalilkan Pasal 4 ayat (1) huruf a UU HPP bertentangan dengan UUD 1945.

Lebih jelas Iwan menyebutkan pengecualian tersebut diperinci dan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan. Kemudian dikonkretkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 66 Tahun 2023 tentang Perlakuan Pajak Penghasilan Atas Penggantian Atau Imbalan Sehubungan Dengan Pekerjaan Atau Jasa Yang Diterima Atau Diperoleh Dalam Bentuk Natura dan/Atau Kenikmatan.

Pada aturan tersebut mengatur tentang imbalan dalam bentuk kenikmatan berupa fasilitas kesehatan (Faskes) dan pengobatan dalam penanganan kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, kedaruratan, dan pengobatan lanjutannya tanpa ada batasan nilai, dikecualikan dari objek pajak penghasilan atau tidak dikenakan pajak penghasilan.

“Dengan demikian, imbalan dalam bentuk kenikmatan berupa pelayanan kesehatan  dan pengobatan yang diberikan pemberi kerja kepada pegawai bukanlah objek pajak, sepanjang memenuhi kriteria jenis yang diatur dalam PMK Nomor 66/2023 tersebut. Sehingga, dalil Pemohon telah terakomodasi dalam PMK tersebut. Oleh karenanya, berlakunya UU HPP telah memenuhi  jaminan dan kepastian hukum bagi pemberi kerja dan pegawai. Penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk fasilitas kesehatan dan pengobatan oleh pemberi kerja dikecualikan dari penggunaan pajak penghasilan. Hal ini, justru memberikan keadilan bagi pegawai dan pemberi kerja,” kata Iwan dalam Sidang Pleno yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman dengan didampingi oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra beserta hakim konstitusi lainnya yang dikutip dari website resmi Mahkamah Konstitusi, Rabu (20/9/2023).

Peningkatan Kesejahteraan Pegawai

Terhadap dalil Pemohon, Pemerintah menyimpulkan beberapa hal, di antaranya UU HPP dan peraturan pelaksananya telah mengatur ketentuan mengenai tidak semua penghasilan dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan yang diterima oleh pegawai tidak dijadikan objek pajak, terdapat pengecualian dari kriteria jenis dan batasan tertentu. Berikutnya UU HPP dan aturan pelaksanaannya telah memberikan jaminan kepastian hukum dan keadilan bagi pemberi kerja dan pegawai bahwa penggantian imbalan yang diberikan dalam bentuk fasilitas kesehatan dan pengobatan dari pemberi kerja tersebut dikecualikan dari pengenaan pajak penghasilan.

Selanjutnya UU HPP dan peraturan pelaksanaannya ditujukan untuk mendorong pemberi kerja meningkatkan kesejahteraan pegawai dengan pemberian layanan kesehatan.  Karena dengan UU HPP, sambung Iwan, biaya yang dikeluarkan untuk penyediaan layanan kesehatan dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan yang dikenakan pajak penghasilan.

Sementara itu, terhadap permohonan Pemohon yang menghendaki imbalan dalam bentuk pelayanan kesehatan dan pengobatan tidak termasuk dalam kategori natura, Pemerintah berpendapat hal demikian kurang tepat.

“Karena apabila permohonan dikabulkan, akan menimbulkan dampak negatif yakni imbalan dalam bentuk pelayanan kesehatan merupakan penghasilan yang harus dibayar pajak penghasilannya oleh pegawai yang menerima. Kemudian hal tersebut justru tidak mendorong pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan pegawainya dengan memberikan fasilitas kesehatan dan pengobatan yang memadai. Maka, ketentuan pasal a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28D UUD 1945, sehingga dalil Pemohon tidak berdasar,” kata Iwan.

Naskah Akademik

Atas keterangan Presiden/Pemerintah tersebut, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih meminta agar Presiden/ Pemerintah menambahkan keterangan berupa naskah akademik dan risalah sidang pembahasan UU HPP. Selain itu, diharapkan pula menyertakan beberapa produk peraturan perundang-undangan berupa PMK dan surat edaran yang disebutkan dalam keterangan pada persidangan hari ini.

“Sertakan semua dalam satu paket sehingga kami mendapatkan penjelasan yang jelas atas dalil Pasal 4 ayat (1) UU HPP memang sebagaimana keterangan yang disampaikan Pemerintah,” ujar Enny.

Senada dengan ini, Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh meminta agar Presiden/Pemerintah menyertakan ilustrasi dalam penghitungan pajak yang ada pengecualian sebagaimana disampaikan pada keterangan sidang hari ini. “Kemudian kami juga melihat bahwa UU ini terbit pada 2021 pada waktu APBN 2022 yang terkait dengan perpajakan. Kira-kira berapa persentase nilai dari APBN 2022-nya dalam kaitan norma yang dimohonkan Pemohon,” kata Daniel.

Pada sidang pendahuluan Senin (10/7/2023) lalu, Pemohon mengatakan fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan telah diasuransikan oleh perusahaan. Dulunya, masalah fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan menjadi tanggungan perusahaan dan karyawan tidak bisa untuk membayar masalah ini sebagai obyek pajak dan bukan dikategorikan obyek pajak.

Menurutnya, gaji dari Pemohon nantinya akan terkuras karena membayar pajak seperti itu. Seharusnya fasilitas kesehatan dan biaya pengobatan itu merupakan hak dari pekerja, namun sekarang dijadikan sebagai objek pajak. Atas hal ini Pemohon mempertanyakan mengapa fasilitas kesehatan dimasukkan ke dalam objek pajak penghasilan.

Sebagai tambahan informasi, permohonan Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta. Leo mengujikan Pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang menyatakan, ‘penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini’.

Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Senin (10/7/2023), Leo mengatakan fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan telah diasuransikan oleh perusahaan. Dulunya, fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan menjadi tanggungan perusahaan dan karyawan tidak bisa untuk membayar hal ini sebagai objek pajak dan bukan dikategorikan objek pajak.

Leo mendalilkan gaji yang diterimanya akan terkuras karena membayar pajak seperti itu. Menurutnya, fasilitas kesehatan dan biaya pengobatan itu merupakan hak dari pekerja. Namun sekarang dijadikan sebagai objek pajak.

“Bahayanya di situ, yang dulu sebetulnya bukan sebagai objek pajak sekarang dikenakan sebagai objek pajak. Bayangkan saja, Yang Mulia, misal saya mempunyai gaji 2 juta kemudian itu pun belum dipotong lagi oleh objek karena ada masalah fasilitas kesehatan atau biaya perobatan. Tentu potongan itu akan merugikan pemohon sendiri, yang mana sebelumnya 2 juta menjadi mungkin 1 juta,” ujarnya.

Leonardo mempertanyakan mengapa fasilitas kesehatan dimasukkan ke dalam objek pajak penghasilan. “Saya juga tidak mengerti mengapa pemerintah memasukkan fasilitas kesehatan ke dalam kategori objek pajak,” kata Leo. (bl)

id_ID