IKPI, JAKARTA: Pemerintah terus melanjutkan pembahasan penerapan pajak ekspor bijih nikel, terlepas dari masih berlanjutnya upaya banding terhadap keputusan WTO yang memenangkan gugatan Uni Eropa dalam perkara larangan ekspor bijih nikel.
Pemerintah memastikan akan mengajukan banding usai kalah melawan Uni Eropa dalam gugatan larangan ekspor nikel ore di Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization). Namun, proses ini dinilai bakal sangat berbelit.
Di tengah kemelut ini, pemerintah tengah mewacanakan penerapan pajak ekspor bijih nikel yang pada prinsipnya memiliki sasaran yang sama, yakni mendorong terjadinya hilirisasi produk nikel di dalam negeri.
Pande Putu Oka Kusumawardani, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa pemerintah tidak begitu terpaku pada hasil banding dalam membahas kebijakan larangan ekspor tersebut.
Menurutnya, keputusan pemerintah untuk mewacanakan penerapan pajak ekspor bijih nikel ini tidak disebabkan oleh karena faktor kekalahan di WTO. Sebab, pada prinsipnya kebijakan perpajakan ekspor memiliki manfaat yang luas, terutama untuk mendukung ketersediaan suplai di dalam negeri.
“Jadi, waktu kita bicara pajak ekspor itu bukan karena gugatan. Bukan untuk balas dendam. Tidak boleh dikaitkan dengan itu,” katanya seperti dikutip Bisnis.com di sela acara Internasional Annual International Forum of Economic Development and Public Policy (AIFED) yang ke-11 di Nusa Dua, Bali, Senin (5/12/2022).
Oka mengatakan bahwa topik pajak ekspor sejatinya dibahas secara regular oleh pemerintah untuk berbagai komoditas, tidak saja untuk bijih nikel. Kebijakan ini dilakukan untuk menyisir komoditas mana saja yang bisa didorong untuk meningkatkan nilai tambanya.
Oka mengamini bahwa rencana pengenaan pajak ekspor ini adalah untuk mendorong peningkatan nilai tambah produk nikel di dalam negeri. Sejatinya, hal ini tidak berbeda dibanding tujuan dari kebijakan larangan ekspor nikel yang digugat oleh UE.
Hilirisasi industri nikel bakal meningkatkan efek berantai pada perekonomian nasional. Apalagi, industri ini kini sangat strategis seiring dengan perkembangan industri kendaraan listrik, yang mana sangat membutuhkan nikel sebagai komponen utama baterainya.
Ekonom LPEM FEB UI, Teuku Riefky, mengatakan bahwa keputusan WTO untuk memenangkan UE cukup beralasan dan adil. Menurutnya, untuk mengejar hingga memenangkan upaya banding atas kasus ini relatif kurang produktif.
Pada dasarnya, tujuan akhir dan jangka panjang dari pemerintah adalah untuk mendorong hilirisasi dan peningkatan nilai tambah produk-produk hasil tambang dalam negeri. Hal ini tidak mesti dicapai dengan upaya pelarangan ekspor.
Masih banyak instrumen lain yang bisa digunakan, termasuk instrumen fiskal. Selain itu, terdapat pula berbagai strategi industrialisasi lainnya, seperti mendorong masuknya investasi hingga penciptaan iklim usaha yang lebih kompetitif di dalam negeri. “Saya rasa itu lebih bisa kita kontrol,” katanya.
Riefky menilai bahwa dana pungutan pajak ekspor pada akhirnya juga dapat digunakan untuk optimalisasi hilirisasi nikel. “Saya tidak rekomendasikan spesifik misalnya apakah income [pajak] ini perlu langsung dimasukkan ke [industri] nikel, mungkin itu bukan policy option yang paling baik atau feasible. Namun, paling tidak dalam budget [kebijakan anggaran] keseluruhan, ini industrialisasi nikel perlu kelihatan,” katanya.(bl)