Pakar Sebut Penegakan Hukum dan Pendekatan Budaya Bisa Pulihkan Nama Baik DJP

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Para pakar kebijakan publik dari Universitas Paramadina buka suara ihwal permasalahan yang hingga kini meliputi Ditektorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, yakni dugaan kasus korupsi ataupun tindak pidana pencucian uang (TPPU).

Kasus terbaru yang menjadi sorotan masyarakat luas adalah harta jumbo Rafael Alun Trisambodo (RAT) yang merupakan pejabat eselon III di Direktorat Jenderal Pajak. Ia telah dicopot oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan dipecat sebagai ASN. RAT disebut-sebut berperilaku serupa Angin Prayitno hingga Gayus Tambunan.

Direktur Eksekutif Paramadina Public Policy Institute Ahmad Khoirul Umam menjelaskan, persoalan yang berulang kali terjadi di instansi tersebut disebabkan proses reformasi birokrasi atau upaya menghadirkan tata kelola yang baik berhenti hanya sampai pada pemberian pendapatan yang tinggi terhadap pegawai dan pejabatnya.

“Di banyak negara berkembang yang mengadopsi konsep good governance seringkali memang lebih banyak berhenti pada proses remunerasi. Minim inovasi dan minim aspek pengawasan,” ujarnya seperti dikutip dari CNBC Indonesia, Kamis (16/3/2023)

Di sejumlah negara berkembang, seperti di Afrika, Latin Amerika, dan Asia, pada umumnya reformasi birokrasi kata dia tidak efektif karena fokusnya adalah hanya pada urusan remunerasi dan kerja-kerja adminstratif. Reformasi ini tidak masuk secara substantif terhadap perilaku para elit dan pengawasan di dalamnya.

Oleh sebab itu, ia berpendapat, kunci reformasi birokrasi itu sebenarnya ada pada sumber daya manusianya, birokratnya dan bukan pada infrastruktur dasar dari birokrasi itu sendiri, baik yang dikembangkan secara digital atau tidak. Proses ini harus dilaksanakan mulai dari saat seleksi mereka sebagai abdi negara.

Pakar Kebijakan Publik Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menambahkan, sebetulnya solusi standar pada situasi seperti itu tidak hanya pemberian insentif atau remunerasi melainkan juga terkait pada konsistensi penegakan hukum, dan pendekatan budaya.

“Pendekatan insentif sudah dicoba tapi ternyata tidak cukup. Para petugas pajak, bea cukai, keuangan incomenya telah lebih tinggi dari ASN lainnya. Tunjangan Kinerja para petugas telah di atas 100 %. Kementerian lain masih 70%,” ujarnya.

Di sisi lain, ia melanjutkan, Kementerian Keuangan sendiri seharusnya tidak berperilaku defensif saat terjadi kasus seperti ini, melainkan cepat kolaborasi dengan para pihak, seperti aparat penegak hukum. Karena penindakan itu di luar kapasitas dari para pegawai Kemenkeu.

“Sayangnya, Kemenkeu menerima situasi itu dengan sangat defensif. Seharusnya hal-hal itu direspons lanjut dengan kolaborasi dengan para pihak. Karena permasalahan indikasi korupsi di Pajak/Kemenkeu jelas di atas kapasitas para pengelola Keuangan negara,” tutur Wijayanto. (bl)

id_ID