Pajak Pesangon Korban PHK Diprotes, Pemerintah Diminta Tinjau Ulang Tarif Progresif

IKPI, Jakarta: Pengenaan pajak atas pesangon yang diterima korban pemutusan hubungan kerja (PHK) memicu protes dari berbagai kalangan, terutama serikat pekerja. Mereka menilai, sistem pajak progresif atas pesangon memperberat beban korban PHK yang tengah berjuang bertahan hidup tanpa pendapatan tetap.

Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPIRASI), Mirah Sumirat, mengatakan bahwa potongan pajak pada uang pesangon, meski mengikuti aturan yang berlaku, sangat tidak berpihak pada kondisi pekerja yang baru saja kehilangan pekerjaan.

“Korban PHK itu butuh uang pesangon untuk bertahan hidup, bayar makan, listrik, hingga pendidikan anak. Ketika pesangon mereka dipotong pajak 5% atau bahkan 25%, itu sangat menyulitkan,” kata Mirah, Kamis (15/05/2025).

Ia mendesak pemerintah untuk mengevaluasi tarif pajak pesangon, terutama bagi mereka yang menerima di bawah Rp100 juta. “Harusnya dibebaskan dari pajak. Mereka sudah rutin bayar PPh selama bekerja, masa setelah di-PHK masih juga dikenakan pajak?”, ujarnya.

Dalam PMK Nomor 16/PMK.03/2010, pesangon memang dikenai PPh Pasal 21 final dengan tarif progresif: mulai dari 0% untuk penghasilan hingga Rp50 juta, dan bisa mencapai 25% bila di atas Rp500 juta.

Namun, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, mengusulkan agar tarifnya disesuaikan dengan kondisi khusus korban PHK. “Sebaiknya tarifnya lebih ringan dibandingkan pajak penghasilan rutin karena ini bukan pendapatan reguler, melainkan kompensasi terakhir,” ujarnya, Jumat (16/05/2025). (alf)

id_ID