Pajak Kripto Tembus Rp1,55 Triliun, Jadi Penopang Baru Penerimaan Pajak Digital

IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan mencatat penerimaan pajak dari transaksi aset kripto terus menunjukkan tren positif. Sejak pertama kali dipungut pada 2022 hingga akhir November 2025, totalnya sudah mencapai sekitar Rp1,55 triliun.

Angka tersebut memberi kontribusi sekitar 4,06% terhadap keseluruhan penerimaan pajak sektor ekonomi digital sejak 2020, yang kini telah menembus Rp44,55 triliun.

“Penerimaan pajak kripto telah terkumpul sebesar Rp1,81 triliun sampai dengan November 2025,” ujar Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat DJP, Rosmauli, dalam keterangan resmi, Senin (29/12/2025).

Naik–turun, lalu melesat

Jika dirinci per tahun, penerimaan pajak kripto mencerminkan dinamika pasar aset digital:

• 2022 (tahun pertama pemungutan): Rp246,4 miliar

• 2023: turun menjadi Rp220,8 miliar

• 2024: melonjak ke Rp620,4 miliar

• 2025: kembali meningkat menjadi Rp719,6 miliar

Lompatan pada dua tahun terakhir menunjukkan aktivitas transaksi kripto yang kembali bergairah, seiring penyesuaian kebijakan dan membaiknya minat investor.

Payung hukum dan skema pungutan

Penguatan pajak kripto berawal dari PMK No. 68/PMK.03/2022, yang menjadi tonggak pertama pengenaan pajak atas transaksi aset digital tersebut.

Saat ini, penerimaan pajak kripto terdiri dari:

• PPh Pasal 22 Final: Rp730,41 miliar

• PPN Dalam Negeri: Rp819,94 miliar

Selanjutnya, pemerintah memperbarui kebijakan melalui PMK No. 50 Tahun 2025 sebagai tindak lanjut perubahan status aset kripto dalam UU P2SK, dari komoditas menjadi aset keuangan digital.

Melalui aturan baru tersebut, tarif PPh Pasal 22 Final ditetapkan 0,21% untuk transaksi melalui Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PPMSE) dalam negeri, dan 1% untuk transaksi yang dilakukan lewat PPMSE luar negeri.

Konsisten memberi kontribusi

Direktur Jenderal Pajak, Bimo Wijayanto, sebelumnya menyebut penerimaan pajak kripto rata-rata sudah berada di kisaran Rp500–600 miliar per tahun sejak kebijakan diberlakukan.

Menurutnya, tren tersebut menegaskan bahwa regulasi pajak kripto tidak hanya memperluas basis pajak, tetapi juga memberi kepastian bagi pelaku pasar.

“Dalam dua hingga tiga tahun sejak pengenalan, penerimaan terus tumbuh,” ujarnya.

Meski kontribusinya masih relatif kecil dibanding sektor lain, pajak kripto kini menjadi salah satu sumber baru penerimaan negara dari ekonomi digital.

Tantangannya ke depan adalah memastikan kepatuhan pelaku transaksi, sinkronisasi data dengan platform perdagangan, serta menjaga keseimbangan antara perlindungan investor dan keberlanjutan penerimaan negara. (alf)

id_ID