Pajak dan Kepercayaan: Dua Pilar Utama Penguatan Ekonomi

Pajak merupakan tulang punggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), menyumbang lebih dari 80 persen pendapatan negara. Angka ini menunjukkan betapa vitalnya peran pajak dalam menopang APBN. Dari pembangunan infrastruktur, subsidi pendidikan, layanan kesehatan, hingga program bantuan sosial, semua bergantung pada pajak.

Namun, realitas di lapangan masih menunjukkan adanya kesenjangan. Tax ratio Indonesia masih berada di kisaran 10–11 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata negara ASEAN. Artinya, potensi pajak yang bisa digali sebenarnya jauh lebih besar daripada capaian saat ini.

Kepatuhan dan kepercayaan adalah dua faktor yang tidak bisa dipisahkan. Kepatuhan muncul ketika wajib pajak melaksanakan kewajibannya sesuai aturan, sementara kepercayaan tumbuh jika pemerintah mampu mengelola pajak secara adil, transparan, dan memberi manfaat nyata bagi masyarakat. Tanpa kepercayaan, kepatuhan cenderung bersifat semu; dan tanpa kepatuhan, penerimaan pajak tidak akan optimal.

Keberhasilan negara dalam mengoptimalkan penerimaan pajak tidak hanya bergantung pada regulasi yang ketat. Dunia usaha menuntut sistem perpajakan yang sederhana, transparan, dan memberikan kepastian agar kewajiban pajak dapat dijalankan tanpa menimbulkan beban administratif yang berlebihan. Kepercayaan menjadi kunci, ketika pemerintah mampu menunjukkan pengelolaan pajak yang adil dan akuntabel, kepatuhan akan tumbuh secara sukarela (voluntary compliance). Pada titik inilah penerimaan negara bisa meningkat sekaligus menjaga iklim bisnis tetap sehat dan berdaya saing. Sebaliknya, jika kepercayaan rendah, maka kepatuhan seringkali bersifat terpaksa, bahkan membuka ruang bagi praktik penghindaran pajak.

Namun, kenyataannya masih banyak hambatan dalam menciptakan kepatuhan pajak yang berkelanjutan. Kompleksitas regulasi, rendahnya literasi pajak, hingga celah penghindaran pajak di level global menjadi tantangan nyata bagi dunia usaha. Di sisi lain, perkembangan ekonomi digital yang melesat jauh lebih cepat daripada regulasi juga memunculkan ruang abu-abu (grey area) dalam pemajakan. Situasi ini menegaskan bahwa optimalisasi penerimaan pajak tidak cukup hanya berfokus pada penegakan hukum, tetapi juga menuntut strategi membangun kepercayaan publik secara konsisten.

Bagaimana Wajah Tantangan Perpajakan di Era Bisnis Modern?

Di tengah dinamika ekonomi global yang semakin kompetitif, sistem perpajakan menghadapi tantangan besar. Bisnis modern bergerak cepat, ditopang teknologi digital, aliran modal lintas negara, serta model usaha yang terus berevolusi. Dalam konteks ini, pajak bukan hanya instrumen penerimaan negara, tetapi juga alat menjaga keadilan dan keberlanjutan pembangunan.

Namun, kompleksitas bisnis modern sering kali membuat pajak berada dalam posisi dilematis. Otoritas pajak dituntut sigap beradaptasi, sementara wajib pajak dituntut patuh di tengah aturan yang terus berkembang. Lalu, bagaimana tantangan pajak di era bisnis modern itu?

1. Digitalisasi dan Ekonomi Digital

Perdagangan elektronik atau e-commerce tumbuh pesat, melahirkan ekosistem baru dengan jutaan transaksi harian. Dari marketplace hingga layanan digital lintas negara, arus pendapatan semakin sulit dipantau dengan cara lama. Belum lagi munculnya aset digital seperti cryptocurrency dan NFT, yang menimbulkan pertanyaan besar tentang mekanisme pemajakan.

Tantangannya jelas: bagaimana negara dapat memungut pajak secara adil, tanpa mengekang inovasi digital yang justru menjadi motor pertumbuhan ekonomi. Sistem digital pajak harus sepadan dengan kecepatan dunia usaha, agar celah kepatuhan bisa diminimalisir.

2. Globalisasi dan Profit Shifting

Perusahaan multinasional dengan mudah mengatur struktur bisnis lintas negara untuk meminimalkan pajak. Strategi seperti transfer pricing atau pengalihan laba (profit shifting) ke yurisdiksi pajak rendah (tax haven) menjadi praktik umum.

OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) sudah meluncurkan solusi global, termasuk Global Minimum Tax. Namun, implementasi di negara berkembang seperti Indonesia tidak sederhana. Otoritas pajak harus menjaga kedaulatan fiskal sambil tetap menarik investasi asing.

3. Kepatuhan Wajib Pajak

Rendahnya kepatuhan sukarela masih menjadi tantangan klasik. Banyak wajib pajak, terutama UMKM, kesulitan memahami kewajiban perpajakan akibat keterbatasan literasi dan administrasi keuangan.

Di sisi lain, persepsi negatif bahwa pajak adalah beban, bukan kontribusi, juga masih kuat. Artinya, selain regulasi, yang dibutuhkan adalah strategi membangun trust. Transparansi penggunaan pajak untuk pembangunan, serta edukasi publik yang berkelanjutan, menjadi kunci meningkatkan kepatuhan.

4. Kompleksitas Regulasi Pajak

Peraturan perpajakan kerap berubah mengikuti dinamika ekonomi. Namun, perubahan yang terlalu cepat justru memunculkan kebingungan. Bagi pelaku usaha, terutama skala kecil dan menengah, kompleksitas ini bisa menghambat kepatuhan.

Simplifikasi aturan tanpa mengorbankan kepastian hukum menjadi tantangan. Negara-negara modern sudah mulai mengarah ke regulasi berbasis prinsip (principle-based regulation), bukan hanya aturan detail. Indonesia perlu mengambil langkah serupa agar sistem pajak lebih adaptif.

5. Integrasi Data dan Teknologi

Sistem pajak di era modern ditopang oleh big data, artificial intelligence, hingga integrasi lintas lembaga (perbankan, bea cukai, OJK). Potensi ini besar untuk mendeteksi kepatuhan secara otomatis.

Namun, muncul tantangan baru yaitu keamanan data dan privasi wajib pajak. Bagaimana menjamin bahwa data sensitif tidak disalahgunakan? Menjaga keseimbangan antara transparansi fiskal dan hak privasi menjadi isu penting yang tidak bisa diabaikan.

6. Persaingan Tarif Pajak Global

Dalam rangka menarik investasi, banyak negara menurunkan tarif pajak. Persaingan ini menimbulkan risiko “perlombaan ke dasar” (race to the bottom) yang bisa merugikan penerimaan negara.

Indonesia juga menghadapi dilemma, yaitu menjaga daya saing investasi dengan tarif kompetitif, sambil mengamankan penerimaan untuk membiayai pembangunan. Jalan tengahnya adalah memperluas basis pajak dan memperkuat administrasi, bukan semata menurunkan tarif.

7. Pajak Karbon dan Ekonomi Hijau

Tuntutan global terhadap keberlanjutan melahirkan kebijakan baru, seperti pajak karbon. Indonesia pun sudah mulai memperkenalkan instrumen ini secara bertahap.

Namun, implementasi pajak karbon menghadapi tantangan serius, yaitu bagaimana memastikan kebijakan ini efektif menekan emisi tanpa membebani UMKM atau sektor industri yang masih rentan? Transisi menuju ekonomi hijau membutuhkan desain pajak yang hati-hati, agar tidak kontraproduktif terhadap pertumbuhan.

8. Perubahan Model Bisnis dan Konsumsi

Fenomena sharing economy—seperti Gojek, Grab, hingga Airbnb—menciptakan pola usaha baru yang tidak terbayangkan dalam aturan lama. Sering kali, bisnis berbasis platform tidak mudah dikategorikan untuk tujuan perpajakan.

Keterlambatan regulasi justru bisa membuka celah penghindaran pajak. Maka, fleksibilitas regulasi yang mampu menyesuaikan dengan model bisnis baru menjadi sangat penting.

Menghadapi berbagai tantangan ini, satu hal yang perlu diingat adalah pajak tidak bisa hanya dipandang sebagai kewajiban sepihak. Keberhasilan sistem perpajakan modern bergantung pada kolaborasi, antara pemerintah yang transparan dan responsif, serta wajib pajak yang sadar akan kontribusinya.

Kepercayaan adalah kunci fondasi utama. Tanpa trust, kepatuhan hanya sebatas formalitas, dan celah untuk menghindar akan selalu dicari. Dengan trust, pajak akan dilihat sebagai bentuk gotong royong modern—sebuah kontribusi nyata untuk masa depan bersama.

Dalam menghadapi tantangan tersebut, dibutuhkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya fokus pada penegakan hukum, tetapi juga memperkuat kepercayaan wajib pajak:

1. Simplifikasi Aturan – Regulasi yang ringkas, jelas, dan konsisten akan mengurangi biaya kepatuhan dan mendorong kepastian hukum.

2. Digitalisasi Pajak – Coretax system, integrasi data, dan layanan online yang ramah pengguna dapat meningkatkan efisiensi sekaligus menutup celah ketidakpatuhan.

3. Transparansi dan Akuntabilitas – Pemerintah perlu menunjukkan secara nyata bagaimana pajak digunakan, sehingga publik merasa kontribusinya kembali dalam bentuk layanan dan pembangunan.

4. Kolaborasi Internasional – Pemanfaatan Automatic Exchange of Information (AEoI) dan partisipasi dalam inisiatif BEPS akan menekan praktik penghindaran pajak global.

5. Edukasi dan Insentif – Program literasi pajak yang berkelanjutan serta penghargaan bagi wajib pajak patuh akan memperkuat budaya kepatuhan jangka panjang.

Untuk itu, era bisnis modern membuka peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menghadirkan tantangan baru bagi sistem perpajakan. Digitalisasi, globalisasi, hingga transisi menuju ekonomi hijau, semuanya menuntut adaptasi regulasi dan strategi yang lebih cerdas.

Optimalisasi penerimaan pajak bukan hanya soal menambah kas negara, tetapi juga menciptakan ekosistem bisnis yang sehat dan kompetitif. Bagi pemerintah, kepercayaan publik adalah modal utama untuk mendorong kepatuhan sukarela. Bagi dunia usaha, kepatuhan pajak bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga investasi reputasi yang akan memperkuat daya saing di mata investor dan masyarakat.

Esensi Pajak dan kepercayaan adalah dua pilar yang saling menguatkan. Dengan sistem yang sederhana, transparan, dan berkeadilan, Indonesia dapat membangun fondasi ekonomi yang kokoh sekaligus meningkatkan partisipasi kolektif dalam membiayai pembangunan.

Kini, Indonesia berada di persimpangan penting, apakah kita mampu menjadikan sistem pajak sebagai pilar ekonomi yang adil, efisien, dan modern, ataukah kita akan tertinggal di tengah arus perubahan global. Jawabannya terletak pada kemampuan kita membangun kepatuhan berbasis kepercayaan dan regulasi yang adaptif.

Penulis adalah Anggota IKPI Kota Bekasi & Dosen Institut STIAMI

Ratih Kumala

Email: rhaty07@gmail.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

id_ID