MK Gelar Sidang Pengujian Pasal 4 ayat 1 UU HPP

IKPI, Jakarta: Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), pada Senin (10/7/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 67/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh Leonardo Siahaan yang merupakan seorang karyawan swasta.

Seperti dikutip dari laman website resmi MK, Leonardo menguji Pasal 4 ayat (1) huruf a yang menyatakan, “penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya termasuk natura dan/atau kenikmatan, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini;”

Dalam sidang yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh, Leo yang hadir langsung dalam persidangan mengatakan fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan telah diasuransikan oleh perusahaan. Dulunya, masalah fasilitas kesehatan atau biaya pengobatan menjadi tanggungan perusahaan dan karyawan tidak bisa untuk membayar masalah ini sebagai obyek pajak dan bukan dikategorikan obyek pajak.

Menurutnya, gaji dari pemohon nantinya akan terkuras karena membayar pajak seperti itu. Maka sebetulnya fasilitas kesehatan dan biaya pengobatan itu merupakan hak dari pekerja. Namun sekarang dijadikan sebagai objek pajak.

“Bahayanya di situ, yang dulu sebetulnya bukan sebagai objek pajak sekarang dikenakan sebagai objek pajak. Bayangkan saja, Yang Mulia, misal saya mempunyai gaji 2 juta kemudian itu pun belum dipotong lagi oleh objek karena ada masalah fasilitas kesehatan atau biaya perobatan. Tentu potongan itu akan merugikan pemohon sendiri, yang mana sebelumnya 2 juta menjadi mungkin 1 juta. Tentu sangat ironis sekali, merebut dan merengut hak-hak dari karyawan. Tentu ini juga ada hubungannya oleh saya, Yang Mulia,” terangnya.

Leonardo mempertanyakan mengapa fasilitas kesehatan dimasukkan ke dalam objek pajak penghasilan. “Kita tahu sendiri objek pajak penghasilan itu seperti apa dan kalau untuk hubungan atau dihubungkan dengan fasilitas kesehatan atau biaya perobatan itu sebenarnya tidak nyambung. Saya juga tidak mengerti mengapa pemerintah memasukkan fasilitas kesehatan ke dalam kategori objek pajak,” tegas Leo.

 

Nasihat Hakim

Menanggapi permohonan pemohon, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih mengatakan UU ini merupakan UU yang dibentuk dengan model Omnibus Law. Oleh karena itu, cara menulis undang-undang seperti ini harus hati-hati.

“Saudara lihat putusan-putusan MK yang sudah ada dalam rangka menegaskan cara mengutipnya bagaimana. Kalau saudara sebutkan sebagai sebuah perihal obyek adalah pasal 4 ayat (1) huruf a UU Nomor 7/2021 itu ada dimana-mana itu. Dalam kaitan ini, saudara tulis pasal 4 ayat (1) huruf a adanya dalam pasal 3 angka 1 dalam UU Pajak Penghasilan yang diubah dalam UU Nomor 7/2021,” kata Enny.

Selain itu, pemohon juga diminta untuk mempertegas pengujian terhadap penjelasan. “Penjelasan pun harus dipertegas, penjelasan yang mana saudara mau uji karena penjelasannya panjang sekali. Saudara sebutkan penjelasan yang mana yang mau saudara uji,” terang Enny.

Sementara Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P. Foekh mengatakan terkait penulisan terdapat metode Omnibus Law yang mana terdapat kekhususan penulisan. “Sebab nanti kalau ditulis seperti ini nanti pasti kabur karena tidak sesuai dengan objeknya. Supaya nanti sesuaikan,” ungkap Daniel.

Sebelum menutup persidangan Daniel mengatakan Pemohon diberi waktu 14 hari untuk memperbaiki permohonannya. Adapun perbaikan permohonan diterima Kepaniteraan MK paling lambat pada Senin 24 Juli 2023 pukul 10.00 WIB.

id_ID