Menkeu Sebut Tax Ratio Rendah Bikin APBN Bergantung Utang

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Rasio perpajakan Indonesia yang tidak pernah menembus 11% dalam lima tahun terakhir membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bergantung pada utang untuk menutup kebutuhan belanja. Kondisi ini dinilai mengurangi ruang fiskal dan menambah tantangan pengelolaan keuangan negara. Hal itu ditegaskan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2025 yang menjadi peta jalan peningkatan penerimaan negara.

Dalam beleid tersebut dituliskan bahwa tax ratio yang rendah mencerminkan potensi penerimaan perpajakan belum tergarap optimal. Data Kementerian Keuangan menunjukkan rasio perpajakan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pada 2020 hanya 8,17%, kemudian naik menjadi 9,11% pada 2021, dan menyentuh 10,41% pada 2022. Namun pada 2023 turun kembali menjadi 10,31% dan melemah lebih jauh ke 10,08% pada 2024.

“Rendahnya rasio pajak ini menyebabkan ketergantungan yang tinggi terhadap utang dan mengakibatkan pengelolaan fiskal semakin menantang,” tulis Purbaya dalam PMK 70/2025 yang ia tanda tangani pada 10 Oktober 2025, dikutip, Senin (10/11/2025).

Untuk menghindari semakin lebarnya defisit APBN, pemerintah menetapkan target agresif peningkatan tax ratio dalam lima tahun ke depan. Pada 2025, target tax ratio dipatok 10,24%. Kemudian secara bertahap dinaikkan hingga berada pada kisaran 11,52% sampai 15% pada 2029. Pemerintah juga berkomitmen menjaga defisit tetap sesuai batas aman Undang-Undang Keuangan Negara, yakni 2,24%–2,5% pada 2029. Sementara rasio utang pemerintah dipertahankan pada posisi sekitar 38,55%–38,64% terhadap PDB.

Upaya mengejar lonjakan penerimaan itu ditempuh melalui transformasi besar pada sisi regulasi, proses bisnis, dan digitalisasi layanan penerimaan negara. Pemerintah akan menyederhanakan administrasi perpajakan, memperbaiki proses keberatan dan banding, serta mengintegrasikan sistem pembayaran dan pengawasan PNBP. Tata kelola ekspor-impor juga akan dibenahi untuk menekan biaya logistik dan mempercepat arus barang.

Selain itu, intensifikasi dan ekstensifikasi penerimaan negara dilakukan dengan memanfaatkan basis data tunggal wajib pajak dan wajib bayar, pemanfaatan big data untuk menggali potensi, hingga penambahan objek pajak dan cukai baru seperti pajak karbon dan ekonomi digital. Kebijakan bea masuk dan bea keluar juga diperkuat untuk melindungi industri dalam negeri dan mendorong hilirisasi sumber daya alam.

Di sisi pengawasan, pemerintah memperluas penggunaan kecerdasan buatan dan analitik lanjutan dalam pemantauan kepatuhan wajib pajak. Penagihan tunggakan juga diperketat melalui skema automatic blocking, serta peningkatan patroli pengawasan di laut untuk menekan pelanggaran ekspor-impor.

Dengan strategi ini, Purbaya berharap Indonesia keluar dari bayang-bayang ketergantungan pada utang. Peningkatan tax ratio diproyeksikan menjadi kunci agar APBN dapat lebih mandiri dan ruang fiskal cukup untuk mengejar pembangunan tanpa terbebani pinjaman berlebih. (alf)

id_ID