Membidik Shadow Economy, Jalan Baru Menggenjot Penerimaan Pajak

Penerimaan pajak selalu menjadi nadi utama pembiayaan negara. Tahun 2025, target penerimaan pajak Indonesia tahun 2025 tercatat sebesar Rp2.189 triliun atau naik sekitar 10,08% dibandingkan tahun 2024 sebesar Rp Rp1.988 triliun. Angka tersebut memang impresif, namun tantangan sudah menanti di depan mata: pada 2026 karena pemerintah menargetkan penerimaan pajak yang lebih tinggi, yakni Rp2.357 triliun atau naik sebesar 13,,51% dari tahun 2025.

Untuk mencapai target tersebut, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dituntut mencari sumber baru yang selama ini belum tergarap optimal. Salah satu yang kini mulai serius dibidik adalah shadow economy, harta karun ekonomi yang masih berada di luar jangkauan sistem perpajakan.

Shadow economy atau disebut ekonomi bayangan merupakan aktivitas ekonomi yang disembunyikan, tidak tercatat secara resmi dan sulit terdeteksi oleh otoritas pajak, sehingga luput dari pengenaan pajak. Aktivitas ini dilakukan di luar sistem formal dengan alasan moneter berupa penghindaran pajak, dan iuran jaminan sosial, alasan regulasi mencakup penghindaran ketentuan perundang-undangan yang berlaku seperti pembayaran upah dibawah ketentuan upah minimum, dan alasan kelembagaan yang mencakup penghindaran ketentuan kelembagaan pemerintahan atau birokrasi.

Adapun karakteristik shadow economy meliputi kegiatan ekonomi yang sering dilakukan secara tunai dan informal dan tidak dilaporkan pada SPT sehingga sulit dijangkau oleh sistem perpajakan konvensional dan sistem administrasi negara termasuk dalam perhitungan Produk Domestik Bruto (PDB).

Ekonomi bayangan menimbulkan beberapa tantangan bagi sistem perpajakan di Indonesia yaitu pertama, mengerus pengenaan basis pajak ketika transaksi ekonomi tidak dilaporkan sehingga pemerintah kehilangan potensi pajak atas transaksi ekonomi, kedua, ketidakadilan pengenaan pajak sehingga menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat, dan ketiga menurunkan kepercayaan publik terhadap lembaga akibat lemahnya tata kelola dan ketidakadilan pengenaan pajak sehingga menghambat kepatuhan pembayaran pajak secara sukarela oleh Wajib Pajak.

Oleh sebab itu shadow economy sangat berdampak besar terhadap penerimaan negara yang mengakibatkan potensi pajak yang hilang, ketimpangan fiskal karena pelaku formal menanggung beban pajak yang lebih besar dan terjadinya distorsi data ekonomi karena aktivitas shadow economy tidak tercatat dalam PDB.

Shadow economy bukan sekadar cerita mistis yang hanya bisa dirasakan namun tidak tercatat dan tidak dapat dipajaki. Kajian Nanda Puja Rezky dalam judulnya Kajian Kegiatan Shadow Economy di Indonesia: Sebuah Studi Literatur1 mencatat bahwa studi empiris yang dilakukan oleh Ramadhan (2019) melalui pendekatan moneter dan analisis sensitivitas permintaan uang untuk periode 2000-2017 menunjukkan terdapat ukuran shadow economy di Indonesia rata-rata sebesar Rp528 triliun, dan jika dibandingkan dengan PDB setiap tahunnya maka jumlah rata-rata rasionya 7,58% terhadap PDB. Sedangkan Penelitian yang dilakukan oleh Tatariyanto (2014) dengan menggunakan pendekatan Model – Multiple Indicator Multiple Cause (MIMIC) memperkirakan shadow economy di Indonesia antara tahun 2000 dan 2008 rata-rata mencapai 20% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB). Ukuran shadow economy ini juga serupa dengan Penelitian yang dilakukan oleh Schneider (2010) pada rentang 1999 -2007, dengan rentang ukuran shadow economy sekitar 18% hingga 21% dari PDB. Studi empiris tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kegiatan ekonomi yang tidak tercatat dalam estimasi PDB yang berpengaruh cukup signifikan terhadap penerimaan pajak di Indonesia.

Sedangkan ukuran shadow economy menurut PPATK seperti dikutip dari laman Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada 2022, Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pencegahan PPATK Fithriadi Muslim menyampaikan shadow economy yang ada diperkirakan sebesar kisaran 8,3 persen hingga 10 persen dari produk domestik bruto (PDB). Sehingga bila dihitung potensi kehilangan penerimaan negara dari shadow economy dengan ukuran shadow economy sebesar 10% dari estimasi PDB tahun 2025 sebesar Rp23.500 triliun, maka potensi target penerimaan pajak bisa mencapai Rp2.350 triliun. Angka ini hampir setara 5 (lima) kali lebih dari anggaran pembuatan Ibukota Negara yang mencapai Rp460 triliun, dan target penerimaan negara bisa tercapai serta bahkan bisa melampaui target penerimaan negara di tahun 2025.

Langkah Serius Pemerintah

Pemerintah tidak tinggal diam, sejumlah langkah sudah dan sedang dilakukan, antara lain melakukan Integrasi NIK dengan NPWP untuk mempersempit ruang pelaku usaha bersembunyi, memperkuat basis data dan pengawasan melalui Core Tax System, membuat ekosistem pembayaran digital melalui Payment ID yang mengintegrasikan seluruh transaksi digital termasuk QRIS dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK), membuat dan merencanakan aturan baru ketentuan pajak seperti transaksi Bitcoin, platform online, perdagangan emas, perikanan, perdagangan eceran, makan dan minuman, meningkatkan proses canvasing melalui pendataan dan menjangkau wajib pajak yang belum terdaftar, integrasi data dengan Nomor Induk Berusaha dan OSS BKPM, melakukan penunjukkan entitas luar negeri sebagai pemungut PPN atas transaksi digital PMSE dan langkah-langkah lainnya.

Namun, tentu langkah-langkah tersebut tidak mudah, karena terdapat kendala serius meliputi kepercayaan publik rendah terhadap pengelolaan pajak yang bisa menimbulkan resistensi, kesiapan sistem perpajakan, integrasi sistem antar lembaga, mengidentifikasikan aktivitas yang dilakukan secara tunai dan informal, dan kesiapan para pelaku usaha terutama pelaku usaha kecil dalam menggunakan sistem administrasi perpajakan yang modern.

Membidik shadow economy bukan hanya sekadar strategi mengejar angka, melainkan upaya membangun sistem perpajakan yang lebih adil sehingga dapat meningkatkan kesadaran wajib pajak untuk membayar pajak secara sukarela dan otomatis meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara sendirinya.

Untuk itu, pemerintah khususnya DJP harus memastikan bahwa kebijakan yang dibuat dan diterapkan tidak represif, tetapi inklusif dan edukatif. Penyederhanaan aturan, transparansi penggunaan pajak, serta digitalisasi administrasi akan menjadi kunci.

Jika momentum ini dikelola dengan baik, shadow economy bisa berubah dari “beban tersembunyi” menjadi sumber cahaya baru bagi penerimaan negara. Dengan demikian, baik target penerimaan pajak 2025 sebesar Rp2.189 triliun maupun target penerimaan pajak 2026 sebesar Rp2.357 triliun bukan hanya target diatas kertas saja, namun menjadi target penerimaan yang realistis dan menjadi langkah menuju kemandirian fiskal yang mandiri dan lebih kokoh.

Penulis adalah Pengurus Pusat IKPI – Ketua Bidang Pajak Internasional Negara Afrika.

Rianto Abimail, SE, SH, MAk, Ak, CA, CPA, Asean CPA, FCPA (Aust.), BKP, CMed,CRA, CPCLE, CFI

Email: rianto.abimail@kap-gpaa.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

 

 

 

id_ID