Mantan Staf Khusus Menkeu Jelaskan Potensi Skema Multitarif PPN dan Tantangan Implementasinya

Staf Khusus Menkeu Yustinus Prastowo. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Mantan Staf Khusus Menteri Keuangan (Menkeu) Yustinus Prastowo, mengungkapkan bahwa ide penerapan skema multitarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebenarnya telah dipertimbangkan sejak penyusunan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Dalam sebuah diskusi yang digelar oleh DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Sabtu (14/12 2024,) Prastowo menjelaskan bahwa konsep multitarif PPN, yang meniru sistem negara-negara maju dimaksudkan untuk menciptakan kebijakan pajak yang lebih fleksibel dan adil.

Prastowo menjelaskan, ide ini muncul dalam upaya untuk menciptakan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan, terutama antara masyarakat kaya dan miskin. Sebagai contoh, pembebasan PPN pada sektor kesehatan dianggap tidak sepenuhnya adil, mengingat banyak warga miskin yang berobat di fasilitas kesehatan dasar seperti Puskesmas, sementara warga kaya juga bisa memanfaatkan fasilitas tersebut untuk prosedur estetika seperti operasi plastik.

“Rela nggak, yang makan daging wagyu satu porsi Rp5 juta, dengan yang makan sate madura satu porsi Rp10.000, sama-sama nggak bayar pajak. Nggak rela kan? Maka dari itu, beras premium dan daging premium sebenarnya bisa dikenai PPN,” ujarnya.

Namun, Prastowo mengingatkan bahwa meskipun konsep ini sudah ada dalam rencana awal UU HPP, beberapa pakar berpendapat bahwa penerapan PPN multitarif seharusnya dilakukan secara bertahap, dengan administrasi yang lebih matang. Ia menyoroti ketidaksiapan hukum saat ini, mengingat penerapan PPN multitarif belum dijadikan dasar hukum yang jelas dalam perancangan UU HPP.

“Keputusannya waktu itu tidak perlu. Nah, kejadian sekarang. Giliran ada ribut-ribut 12%, mau nyantolin barang mewah di mana, nggak ada pasalnya,” ujar Prastowo.

Menurutnya, penerimaan negara dari kenaikan PPN 12% dengan hanya mencakup barang mewah diperkirakan tidak akan signifikan, hanya sekitar Rp2 triliun.

Lebih lanjut, Prastowo menekankan bahwa meskipun UU HPP memiliki banyak keputusan positif, seperti pajak karbon dan pajak penghasilan untuk orang kaya, ketidaktegasan soal penerapan PPN multitarif menjadi salah satu kekurangan dalam perancangannya. Ia menyarankan pemerintah untuk lebih fokus pada kebijakan seperti PPN DTP (Ditanggung Pemerintah) pada beberapa objek tertentu untuk membantu mengurangi beban masyarakat.

Prastowo juga menyampaikan bahwa perancangan UU HPP memberikan pelajaran penting bagi pengambil kebijakan, terutama dalam merumuskan proyeksi yang lebih realistis. Menurutnya, penerapan kebijakan kenaikan PPN yang begitu mendadak pada saat daya beli masyarakat belum sepenuhnya pulih setelah pandemi Covid-19 dapat menimbulkan dampak yang tidak diinginkan. (alf)

id_ID