Mantan Pejabat DJP Tegaskan Kepatuhan Pajak Harus Tumbuh dari Kepercayaan, Bukan Ketakutan

IKPI, Jakarta: Mantan pejabat di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan, Catur Rini Widosari, menegaskan bahwa kepatuhan pajak tidak boleh dibangun atas dasar rasa takut terhadap sanksi, melainkan atas kesadaran dan kepercayaan terhadap institusi perpajakan. Pernyataan itu disampaikan dalam podcast Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) bertema “Kepatuhan Pajak: Takut Sanksi atau Sadar Kewajiban?”  yang dipandu oleh Agnez, dengan narasumber pendamping Asih Arianto, selaku Direktur Eksekutif IKPI, baru baru ini.

Podcast tersebut dikemas santai namun mendalam antara praktisi dan mantan pejabat pajak mengenai akar masalah kepatuhan di Indonesia yang sering kali masih bersifat formalitas.

Dalam sesi tersebut, Catur (sapaan akrab) menekankan bahwa efektivitas sistem perpajakan nasional tidak bisa hanya bertumpu pada ancaman sanksi atau kekuatan otoritas, tetapi harus ditopang oleh trust (kepercayaan) masyarakat terhadap pemerintah.

“Mau sekuat apa pun aturan dibuat, tanpa adanya kepercayaan, masyarakat tidak akan takut pada sanksi itu. Karena yang lebih penting adalah bagaimana kita membangun kepercayaan terhadap institusi,” ujar Catur.

Menurutnya, banyak wajib pajak yang selama ini patuh hanya karena takut diperiksa atau dikenai denda. Padahal, kepatuhan sejati justru lahir dari kesadaran bahwa pajak adalah bentuk kontribusi bersama untuk membangun negara.

“Kepatuhan tidak cukup hanya sekadar melapor SPT. Datang memenuhi SP2DK pun sudah bagian dari kepatuhan. Tapi kalau masyarakat memahami tujuan pajak, mereka akan patuh tanpa harus ditekan,” jelasnya.

SP2DK Bukan Ancaman, tapi Kesempatan untuk Klarifikasi

Catur juga menyoroti persepsi keliru masyarakat terhadap surat SP2DK atau Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan dari DJP, yang sering kali dianggap sebagai ancaman.

Padahal, menurutnya, SP2DK adalah sarana klarifikasi yang justru memberi ruang dialog antara wajib pajak dan fiskus.

“SP2DK itu bukan surat ancaman, tapi permintaan penjelasan. Kalau belum paham, wajib pajak bisa datang dan bertanya. Kalau belum siap, mereka berhak meminta waktu tambahan. DJP harus melayani, bukan menakuti,” tegas Catur.

Ia menambahkan, era digital membuat pengawasan pajak semakin terbuka melalui integrasi data ILAP (Institusi, Lembaga, Asosiasi, dan Pihak Lain) serta sistem Coretax. Sistem ini memungkinkan data ekonomi mengalir otomatis ke DJP tanpa perlu pelaporan manual. Namun, kemajuan teknologi harus dibarengi dengan peningkatan kualitas pelayanan.

“Sekarang semua serba transparan, tidak ada lagi tempat bersembunyi. Tapi pelayanan juga harus seimbang edukatif, komunikatif, bukan intimidatif,” katanya.

Catur menjelaskan bahwa rendahnya tingkat kepatuhan sebagian masyarakat sering kali bukan karena enggan bayar pajak, melainkan karena rasa tidak percaya bahwa uang pajak benar-benar dikelola dengan baik.

“Banyak yang bilang, ‘Saya tidak masalah bayar pajak, tapi uangnya dipakai untuk apa?’ Nah, di situ letak tantangannya. Membangun kepercayaan itu tidak bisa hanya dari DJP, tapi dari seluruh pemerintah,” ungkapnya.

Ia menilai kepercayaan publik akan meningkat jika pemerintah konsisten menjaga transparansi penggunaan anggaran, memperbaiki pelayanan publik, dan menunjukkan hasil nyata dari penerimaan pajak.

Contohnya, infrastruktur yang baik, bantuan sosial yang tepat sasaran, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat menjadi bukti nyata manfaat pajak yang bisa dirasakan langsung.

“Jangan menuntut hasil langsung dari pembayaran pajak. Lihatlah di sekitar jalan yang lebih baik, fasilitas publik yang lebih rapi itu semua hasil kontribusi kita bersama,” ucapnya.

Pendidikan Pajak Jadi Kunci

Sebagai akademisi dan pembimbing mahasiswa setelah pensiun dari DJP, Catur menekankan pentingnya edukasi pajak sejak dini.

Ia berpendapat, literasi pajak harus menjadi bagian dari pembentukan karakter warga negara agar generasi muda memahami fungsi pajak bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi juga tanggung jawab moral.

“Kepatuhan lahir dari tahu, paham, lalu sadar. Karena kalau sudah sadar, orang akan patuh bahkan tanpa diawasi,” tuturnya.

Ia menegaskan bahwa dunia pendidikan dan profesi pajak harus berperan aktif dalam menanamkan nilai integritas dan kesadaran pajak.

Menurutnya, para mahasiswa dan calon konsultan pajak perlu memahami bahwa mereka bukan hanya pekerja pajak, tapi juga bagian dari sistem yang menjaga keberlanjutan fiskal negara.

Perjalanan Karier dan Refleksi

Dalam kesempatan itu, Catur juga bercerita tentang pengalamannya saat dipindah ke Direktorat Keberatan Pajak DJP sebuah posisi yang awalnya mengejutkan namun kemudian menjadi titik penting dalam kariernya.

“Awalnya saya kaget juga, tapi saya percaya pada takdir. Tidak ada pilihan selain menjalankan amanah dengan ikhlas. Yang penting kita bekerja sesuai etika dan menjaga integritas,” ucapnya.

Ia menilai, kejujuran dan ketulusan dalam bekerja adalah bagian dari kepatuhan moral yang sejalan dengan nilai-nilai pajak itu sendiri: gotong royong, kontribusi, dan tanggung jawab sosial.

Namun, ia mengingatkan bahwa membangun kepatuhan pajak adalah pekerjaan jangka panjang yang harus dilakukan bersama oleh pemerintah, aparat pajak, konsultan, akademisi, dan masyarakat.

“Kita harus beralih dari kepatuhan karena takut menjadi kepatuhan karena sadar. Karena ketika kepercayaan tumbuh, kepatuhan akan datang dengan sendirinya,” pungkasnya. (bl)

id_ID