IKPI, Jakarta: Direktur Jenderal Pajak (2017–2019), Dr. Robert Pakpahan, memberikan menegaskan mengenai urgensi dan tantangan penerapan kembali program pengampunan pajak atau tax amnesty di Indonesia. Hal itu diungkapkannya dalam diskusi panel bertajuk “Tax Amnesty: Efektifkah Mengakselerasi dan Mendongkrak Penerimaan Pajak” yang digelar di Gedung IKPI, Pejaten, Jakarta Selatan, Jumat (13/6/2025).
Robert memulai dengan menyatakan bahwa tax amnesty pada dasarnya adalah sebuah pengampunan yang diberikan kepada wajib pajak yang tidak patuh, sehingga relevansi program ini sangat bergantung pada masih adanya ketidakpatuhan yang signifikan di tengah masyarakat.
Tiga Pilar Penilaian Tax Amnesty
Dalam paparannya, Robert mengurai persoalan dari tiga aspek utama:
1. Tingkat Kepatuhan Pajak
Robert mengungkapkan bahwa tax ratio Indonesia pada akhir 2023 hanya mencapai 11,49 persen sudah termasuk pajak, cukai, dan penerimaan dari sumber daya alam. Bahkan, bila hanya melihat pajak pusat, angkanya lebih rendah lagi, yakni 10,31 persen. Dibandingkan negara lain, angka ini mengindikasikan masih rendahnya kepatuhan perpajakan.
Ia juga menyoroti studi Bank Dunia tahun 2021 yang menunjukkan adanya tax gap signifikan: potensi pajak yang tidak tertagih dari Corporate Income Tax mencapai Rp269 triliun dan dari Value Added Tax sekitar Rp418 triliun total mendekati Rp700 triliun hanya dari dua jenis pajak.
Walau tingkat pelaporan SPT tahunan telah mencapai 86,9 persen untuk wajib pajak terdaftar yang wajib lapor, Robert menggarisbawahi bahwa angka ini belum mencerminkan kepatuhan menyeluruh, apalagi dalam aspek pembayaran dan kejujuran pelaporan.
2. Profil Ekonomi Nasional
Dalam aspek kedua, Robert menyoroti struktur ekonomi Indonesia yang didominasi oleh UMKM. Dari total PDB nasional sebesar Rp22.100 triliun (2024), sekitar 60 persen atau Rp13.000 triliun berasal dari sektor UMKM — yang sebagian besar bergerak di sektor informal dan memiliki tarif pajak rendah serta banyak pengecualian.
Ia menyebut bahwa dari sekitar 64 juta pelaku UMKM, hanya 2,2 juta yang melaporkan SPT dengan omset di bawah Rp4,8 miliar. Ini menunjukkan jurang besar antara pelaku usaha dan kepatuhan administratif, menandakan potensi besar ketidakpatuhan dari sektor ini.
“Kalau yang besar dan menengah harusnya sudah ikutan tax amnesty sebelumnya. Tapi dari profil ekonomi ini, yang kecil dan informal itu yang belum banyak tersentuh,” ujarnya.
3. Kematangan Administrasi Perpajakan
Robert juga menyinggung aspek maturity administrasi pajak. Ia menilai bahwa dengan kemajuan sistem seperti keterbukaan informasi keuangan, dibukanya kerahasiaan perbankan, dan penerapan sistem Cortex, seharusnya DJP memiliki kapasitas cukup untuk memungut pajak tanpa perlu program pengampunan lagi.
“Kalau administrasinya sudah cukup matang dari pelayanan, registrasi, hingga pengawasan seharusnya tidak perlu lagi tax amnesty. Cukup gunakan sistem yang ada untuk mengejar kepatuhan,” tegasnya.
Namun demikian, Robert tidak menutup mata atas fakta di lapangan. Ia menyebutkan bahwa secara filosofis, jika ketidakpatuhan masih tinggi dan sektor informal masih luas, maka tax amnesty bisa dijadikan sarana transisi ke kepatuhan yang lebih baik — asalkan tidak diulang terlalu sering karena akan menciptakan moral hazard.
“Tax amnesty seharusnya menjadi langkah luar biasa, bukan kebiasaan. Harus disertai penguatan sistem, bukan sekadar ‘pemutihan’ yang diulang terus,” ujarnya. (bl)