Lonjakan PBB-P2 di Daerah Dinilai Imbas Pemangkasan Dana Transfer, Istana Membantah

(Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Pakar otonomi daerah sekaligus Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN), Prof. Djohermansyah Djohan, menilai kenaikan drastis Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di sejumlah daerah tak lepas dari persoalan fiskal yang mendera pemerintah daerah. Ia menyoroti bahwa langkah tersebut erat kaitannya dengan pemangkasan signifikan dana transfer dari pemerintah pusat.

“Presiden yang baru terpilih menginstruksikan efisiensi, dan nilainya besar untuk kepentingan daerah. Ada data yang beredar, lebih dari Rp50 triliun dana transfer dipangkas. Tentu daerah otonom terkena imbasnya,” ujar mantan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri itu, Kamis (14/8/2025).

Menurutnya, sebagian besar Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih bergantung pada Dana Transfer ke Daerah (TKD), baik Dana Alokasi Umum (DAU) maupun Dana Alokasi Khusus (DAK). Kondisi makin pelik karena banyak bupati dan wali kota yang baru dilantik Februari 2025 mewarisi APBD yang disusun pemerintahan sebelumnya, namun kemudian mendapati alokasi dana dari pusat menyusut drastis—bahkan hingga ratusan miliar rupiah.

“Posisi APBD di Februari itu sudah terpaku. Begitu dicek, dana dari pusat banyak hilang—ada yang Rp100 miliar, ada yang Rp200 miliar. Saat perubahan APBD di Maret, April, atau Mei, kepala daerah mulai berimprovisasi mencari cara agar pembangunan yang direncanakan tetap berjalan,” terangnya.

Ia menyebut opsi seperti kerja sama dengan swasta atau memaksimalkan pendapatan dari BUMD membutuhkan waktu lama, sementara kepala daerah terdesak untuk memenuhi janji kampanye. Alhasil, banyak yang memilih langkah cepat: menaikkan pajak daerah, termasuk PBB-P2.

Namun, Djohermansyah mengkritik keras kebijakan tersebut karena dinilai tanpa kajian mendalam dan minim pelibatan publik. “Tiba-tiba naiknya mencolok, bahkan ratusan persen. Masyarakat tentu kaget dan keberatan, apalagi PBB ini dibayar semua warga, baik di desa maupun kota,” ujarnya.

Ia menegaskan, meski Undang-Undang No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah memberi kewenangan daerah untuk mengatur NJOP dan tarif pajak, keputusan itu seharusnya tetap mempertimbangkan kondisi makroekonomi, daya beli, kemiskinan, dan pengangguran di wilayah masing-masing.

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (Presidential Communication Office/PCO), Hasan Nasbi, menepis anggapan bahwa lonjakan PBB-P2 di daerah, termasuk di Pati, disebabkan kebijakan efisiensi anggaran pemerintah pusat.

“Menyebut ini sebagai imbas kebijakan efisiensi adalah tanggapan prematur. Efisiensi sudah berjalan sejak awal 2025 dan berlaku untuk seluruh daerah, bukan hanya satu-dua kabupaten/kota,” kata Hasan di Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).

Hasan menegaskan bahwa kenaikan PBB-P2 adalah keputusan otonom masing-masing daerah. “Kalau seperti di Pati, itu murni dinamika lokal. Kalau mau bicara dampak efisiensi pusat, konteksnya harus seluruh 500-an kabupaten/kota di Indonesia,” tegasnya. (alf)

 

id_ID