Kupas Tuntas Penanggung Pajak, Humala Napitupulu: Surat Paksa Bisa Batal Demi Hukum

IKPI, Jakarta: Seminar perpajakan IKPI Pengda DKJ pada Rabu (19/11/2025) berlangsung dinamis ketika Humala Napitupulu memaparkan analisis mendalam mengenai batasan tanggung jawab penanggung pajak, khususnya terkait penerbitan surat paksa dan proses penagihan aktif.

Humala menjelaskan bahwa dalam kerangka hukum pajak modern, surat paksa merupakan tindakan penagihan yang memiliki kekuatan eksekutorial setara putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap. Namun kekuatan tersebut tetap tunduk pada prinsip due process of law.

“Kalau wajib pajak sedang mengajukan keberatan atau banding, tindakan penagihan tidak boleh dilakukan. Kalau surat paksa diterbitkan dalam kondisi itu, tindakan tersebut inkonstitusional dan surat paksanya batal demi hukum,” tegasnya.

Ia mencontohkan beberapa kasus di lapangan di mana wajib pajak menerima surat paksa sementara proses keberatan masih berjalan. Menurut Humala, kondisi tersebut merugikan wajib pajak karena berdampak pada perhitungan daluarsa penagihan.

“Kalau surat paksa batal demi hukum, maka daluarsa dihitung kembali dari awal. Ibarat kilometer mobil di-reset,” ujarnya.

Dalam sesi diskusi, ia menekankan bahwa DJP memang memiliki hak melakukan penagihan aktif sepanjang wajib pajak tidak berada dalam proses keberatan atau banding. Namun setiap tindakan paksa wajib memenuhi tiga prinsip:

• Wajib pajak diberi tahu,

• Diberi kesempatan menyanggah, dan

• Disediakan mekanisme penyelesaian.

“Kalau tiga prinsip ini dilanggar, tindakan penagihan bisa dibatalkan,” jelasnya.

Humala juga menyinggung luasnya cakupan penanggung pajak dalam Pasal 32 dan 32A UU KUP yang memungkinkan tanggung jawab meluas hingga harta pribadi pengurus. Hal inilah yang menurutnya sering menimbulkan perdebatan terkait keadilan dan batas kewenangan negara.

Isu lain yang menjadi perhatian Humala adalah kebutuhan perlindungan hukum dalam rezim penagihan modern. Ia mengingatkan bahwa banyak tindakan paksa seperti blokir rekening kini dilakukan oleh pihak lain di luar pemerintah, sehingga pengawasan dan akuntabilitas harus diperkuat.

Menanggapi pertanyaan soal penerapan restorative justice dalam perpajakan, Humala menilai pendekatan tersebut pernah dicoba namun belum sepenuhnya efektif. 

“Restorative justice menekankan pemulihan, bukan penghukuman. Tapi dalam perpajakan, kita tetap berhadapan dengan batas waktu penagihan yang kaku,” ujarnya.

Ia kembali menegaskan pentingnya memahami alur hukum penagihan agar penanggung pajak tidak dirugikan: “Kita harus paham dulu aturan dan batasannya. Baru kita bisa tahu apakah kita benar-benar harus bertanggung jawab atau tidak,” katanya. (bl)

id_ID