Timbulnya koreksi PPN Masukan yang semula dikreditkan oleh Wajib Pajjak menjadi tidak dapat dikreditkan oleh otoritas pajak terkait kesalahan pengisan kolom di SSP atas pembayaran PPN u/pemanfaatan BKP tdk berwujud dan/atau JKP dr luar daerah pabean.
Dasar Hukum yang dipakai oleh Pemeriksa (Fiskus) dalam melakukan koreksi atas Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan, antara lain :
Pasal 9 ayat (2), ayat (8), Pasal 13 ayat (5), ayat (6), ayat (8), ayat (9), Penjelasan Pasal 13 ayat (6) dan ayat (9); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah s.t.t.d dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Pasal 1 , Pasal 4, Pasal 5 ayat(2) jo PER 13 PJ-2012; Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-27/PJ/2011 tentang Perubahan Kedua atas PER-10/PJ/2010, kemudian dicabut dengan PER-13 PJ-2019 dan terakhir dicabut dengan PER-16 PJ-2021 tentang Dokumen Tertentu yang Kedudukannya Dipersamakan dengan Faktur Pajak.
Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2); Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
Angka 8, angka 9 Surat Edaran Nomor SE -147/PJ/2010 tentang Penjelasan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tentang Tata Cara Perhitungan, Pemungutan, Penyetoran dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean.
Berikut ini beberapa kutipan pasal-pasal dari peraturan diatas yang relevan langsung yang mendasari koreksi Fiskus :
Ps 9(8)huruf g UU PPN
“Pengkreditan Pajak Masukan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dapat diberlakukan bagi pengeluaran untukpemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6)”
Pasal 13 (6) UU PPN
“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak”
Penjelasan Pasal 13 (6) UU PPN
Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Direktur Jenderal Pajak dapat menentukan dokumen yang biasa digunakan dalam dunia usaha yang kedudukannya dipersamakan dengan Faktur Pajak. Ketentuan ini diperlukan, antara lain, karena :
faktur penjualan yang digunakan oleh Pengusaha telah dikenal oleh masyarakat luas seperti, kuitansi pembayaran telepon dan tiket pesawat udara.
untuk adanya bukti pungutan pajak harus ada Faktur Pajak, sedangkan pihak yang seharusnya membuat Faktur Pajak, yaitu pihak yang menyerahkan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak berada di luar daerah Pabean, misalnya dalam hal pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean, Surat Setoran Pajak dapat ditetapkan sebagai -Faktur Pajak dan
terdapat .dokumen tertentu yang digunakan dalam hal impor atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud.
Pasal 6 ayat (2) PMK 40/PMK.03/2010 menyebutkan :
kolom “Nama WP” dan “Alamat WP” diisi nama dan alamat orang pribadi atau badan yang bertempat tinggal atau berkedudukan di luar Daerah Pabean
kolom “NPWP” diisi dengan angka 0 (nol), kecuali kode Kantor Pelayanan Pajak diisi dengan kode Kantor Pelayanan Pajak dari pihak yang memanfaatkan….
pada kotak “Wajib Pajak/Penyetor” diisi nama dan Nomor Pokok Wajib Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak tidak berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak.
Cara pengisian SSP diatas juga dapat ditemukan dalam angka 8 SE-147 PJ-2010
Pasal 1 huruf j PER-67 PJ-2010
“Dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak adalah Surat Setoran Pajak untuk pembayaran Pajak Pertambahan Nilai pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak terwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean”
Pasal4 PER 67-PJ-2010
“Dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j dibuat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”
Pasal 5 ayat (2) PER 67 PJ/2010 tentang perubahan PER-10 PJ-2010 menyebutkan :
“Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam dokumen tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf i dan huruf j merupakan Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku sepanjang dokumen tertentu tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan mencantumkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan nama pihak yang melakukan impor Barang Kena Pajak, atau pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dan/atau Barang Kena Pajak tidak berwujud”
Angka No.9 SE-147/PJ/2010
“Dalam hal pengisian Surat Setoran Pajak untuk pembayaran PPN yang terutang atas pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean oleh Wajib Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40/PMK.03/2010 tersebut, maka pembayaran PPN tersebut tidak dapat dikreditkan”
Sering terjadi Wajib Pajak melakukan kesalahan pengisian kolom-kolom yang tertera di SSP , dimana :
pada kolom pemberi jasa seharusnya diisi dengan nama dan alamat pihak yang berkedudukan di Luar Daerah Pabean yang menyerahkan Barang Kena Pahak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak dan
pada kolom NPWP seharusnya diisi dengan angka 0 dan kode Kantor Pelayanan Pajak pihak yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud/Jasa Kena Pajak ,
kedua kolom tersebut tidak di isi sesuai Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/PMK.03/2010 dan angka 8 SE-147/PJ-2010 melainkan semuanya di isi dengan nama, alamat, npwp dari pihak yang memanfaatkan jasa (Wajib Pajak itu sendiri) sehingga oleh Fiskus, jumlah PPN yang sudah disetorkan , tidak dapat dikreditkan.
Keabsahan Pembayaran PPN
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 dalam Pasal 11 ayat (1), ayat (4) dan ayat (6) pembayaran kepada negara dinyatakan sah dalam hal telah divalidasi dengan NTPN dan diakui sebagai pelunasan kewajibannya.
Wajib Pajak harus dapat membuktikan telah melakukan pembayaran/penyetoran PPN atas Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan Luar Daerah Pabean, dimana pembayaran tersebut telah diterima oleh Negara dengan telah terbitnya NTPN dan sistem MPN Departemen Keuangan.
Koreksi Fiskus Tidak Sesuai Peraturan Perundang-undangan
Ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 ayat (5), ayat (6) dan ayat (9) UU PPN tentang dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak hanya dapat dikreditkan apabila:
Diisi secara lengkap, jelas dan benar sesuai dengan persyaratan dalam peraturan (yaitu mencantumkan NPWP dan nama pihak yang memanfaatkan Jasa Kena Pajak dari Luar Daerah Pabean) dan
Berisi keterangan yang sebenamya atau sesungguhnya mengenai penyerahan.
Menurut Penulis sepanjang SSP PPN Jasa Luar Negeri telah memenuhi ketentuan formal dan telah diisi berdasarkan keterangan yang sebesarnya maka Pemeriksa tidak dapat mempermasalahkan mengenai material (substansi) dari pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Jasa Luar Negeri tersebut.
Dasar hukum yang dijadikan alasan yang menyatakan SSP PPN Jasa Luar Negeri tidak dapat dikreditkan adalah tidak tepat baik ditinjau dari sudut hierarki peraturan maupun dari sudut maksud dari peraturannya melainkan mempermasalahkan aspek formalitas.
Masalah formalitas/administratif seharusnya tidak dapat mengalahkan aspek material (substansinya) sehingga apabila Pemeriksa telah mengakui aspek material (substansinya) adalah benar maka seharusnya SSP PPN Jasa Luar Negeri tersebut tetap dapat dikreditkan.
PMK No.40/PMK.03/2010 tidak mengatur akibat hukum/sanksi apabila terdapat kekeliruan pengisian SSP. Kekeliruan tersebut adalah bersifat administratif, sehingga pemeriksa seharusnya tidak dapat mengabaikan substansi bahwa PPN telah disetor dan dilaporkan.
Menurut Penulis pengaturan tentang pengisian kolom di Pasal 6 ayat (2) PMK No.40/2010 ini sifatnya administratif saja yang tujuannya untuk penghimpunan data yang diperlukan dalam rangka pertukaran data dengan negara lain.
Sedangkan koreksi berdasarkan Pasal 9 ayat (8) huruf g UU PPN juga kurang tepat karena hanya mengatur Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan apabila tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (6), yang menyatakan :
“Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan dokumen tertentu yang kedudukannya dipersamakan dengan faktur pajak”.
Dimana Pasal 13 ayat(6) UU PPN hanya mengatur dokumen-dokumennya saja sehingga apabila Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan dengan menyetor sesuai dengan dokumen yang diatur dalam Pasal 6 PMK.40 maka ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf g tidak relevan diterapkan karena hanya terdapat kesalahan dalam pengisian kolom.
Kesimpulan :
Tidak terdapat ketentuan di dalam UU PPN yang mengatur tentang keterangan yang harus dicantumkan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak sehingga dapat diperlakukan sama sebagaimana maksud dari ketentuan Pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN jo. Pasal 13 ayat (5) UU PPN.
PMK No.40/PMK.03/2010 tidak dapat diperlakukan sebagai petunjuk teknis pencantuman keterangan di dalam dokumen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak seperti halnya yang diatur dalam ketentuan Pasal 13 ayat (5) UU PPN karena ketentuan Pasal 13 ayat (6) UU PPN tidak mengatur atribusi wewenang tentang pencantuman keterangan didalam dokuemen tertentu yang dipersamakan dengan faktur pajak.
Kesalahan pengisian kolom di SSP dalam pengisian tidak dapat digolongkan sebagai kesalahan yang mengakibatkan Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan sepanjang Wajib Pajak telah memenuhi ketentuan mengenai dokumen yang dipersamakan dengan faktur pajak dan pajak yang disetor telah sesuai masa pajaknya dan telah terbukti masuk ke kas negara. Jadi tidak terdapat kerugian negara yang diakibatkan kesalahan administratif.
Penulis adalah anggota Departemen Keanggotaan dan Pembinaan IKPI (Bidang Pembinaan Profesi dan Etika)
Eddy Christian, SE., M.Ak., BKP
Email : eddychris1090@gmail.com
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis