Kemenekraf Matangkan Reformasi PPh Royalti Penulis, Dorong Ekosistem Literasi Lebih Ramah Kreator

IKPI, Jakarta: Kementerian Ekonomi Kreatif (Kemenekraf) mulai mempercepat proses rekonstruksi kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) atas royalti penulis. Langkah ini ditempuh sebagai respons atas berbagai keluhan terkait kerumitan aturan perpajakan yang selama ini dirasakan para penulis, penerbit, hingga pelaku industri buku lainnya. Pemerintah menilai penyederhanaan skema perpajakan merupakan elemen kunci untuk memperkuat ekosistem literasi nasional.

Deputi Bidang Kreativitas Media Kemenekraf, Agustini Rahayu, menegaskan bahwa penulis adalah aktor fundamental dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya Indonesia. Karena itu, kata dia, kebijakan perpajakan yang mengatur mereka harus adil, sederhana, dan tidak menghambat kreativitas.

“Penulis adalah fondasi utama perkembangan ilmu pengetahuan dan budaya. Kebijakan yang menaungi mereka harus adil dan memudahkan, bukan membatasi,” ujar Agustini, Senin (1/12/2025).

Ia menambahkan, penyederhanaan aturan perpajakan sangat penting agar penulis bisa fokus berkarya tanpa terbebani kerumitan administrasi.

Sementara itu, Direktur Penerbitan dan Fotografi Kemenparekraf, Iman Santoso, mengungkapkan bahwa proses perumusan kebijakan kini memasuki tahap penting. Tahun ini, pemerintah menargetkan selesainya naskah akademik sebagai fondasi penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) pada 2026.

“Kami berharap kebijakan yang nantinya ditetapkan dapat memberikan manfaat nyata dan meningkatkan kesejahteraan seluruh pelaku di subsektor ini,” ujarnya.

Saat ini, royalti penulis dikenakan PPh melalui skema Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN). Namun, skema tersebut dinilai kurang sesuai dengan karakter kerja penulis yang bersifat kreatif dan mandiri. Selain itu, NPPN dianggap menambah beban administratif yang tidak sebanding dengan pola pendapatan penulis yang cenderung fluktuatif.

Guru Besar Kebijakan Pajak Universitas Indonesia, Haula Rosdiana, menilai industri literasi seharusnya diperlakukan dengan prinsip perpajakan yang sederhana dan efisien. Ia menekankan bahwa pengetahuan tidak selayaknya dibebani pajak yang rumit.

“Jika kita berbicara mengenai industri literasi, seharusnya prinsipnya adalah No Tax on Knowledge,” tegas Haula.

Dari sisi pelaku industri, penulis senior Asma Nadia menyambut baik keseriusan pemerintah memproses penyederhanaan aturan tersebut. Ia menyebut perjuangan untuk mendorong revisi kebijakan perpajakan bagi penulis sudah berlangsung sekitar tujuh tahun.

“Kami benar-benar berterima kasih atas kesungguhan pemerintah dalam mengupayakan perubahan. Bertahan sebagai penulis tidak mudah, dan kebijakan yang lebih ramah tentu sangat berarti,” ujarnya. (alf)

id_ID