Kebijakan Tarif AS Ringankan Beban Pajak Perdagangan Sawit Malaysia

IKPI, Jakarta: Kebijakan Amerika Serikat (AS) yang mengecualikan minyak sawit Malaysia dari tarif impor sebesar 19 persen dinilai memberikan keringanan signifikan terhadap beban pajak perdagangan sekaligus memperkuat daya saing ekspor komoditas unggulan negeri Jiran tersebut di pasar global.

Pengecualian tarif ini dipandang sebagai sinyal positif bagi industri sawit Malaysia yang sepanjang 2025 menghadapi tekanan eksternal, mulai dari pelemahan permintaan global hingga persaingan harga dengan minyak nabati alternatif. Dengan berkurangnya hambatan tarif, eksportir sawit Malaysia memiliki ruang lebih besar untuk menjaga margin usaha dan efisiensi fiskal dalam aktivitas perdagangan internasional.

Analis komoditas Danni Haizal Danial Donald, dalam laporannya yang dimuat kantor berita nasional Malaysia, Bernama, baru baru ini menilai kebijakan tarif AS tersebut memberi efek langsung terhadap biaya perdagangan. Menurutnya, pembebasan tarif impor menjadi faktor penting dalam menahan tekanan biaya ekspor di tengah ketidakpastian ekonomi global.

Dari sisi harga, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) Malaysia masih bergerak fluktuatif sepanjang 2025. Pada November 2025, harga CPO tercatat sebesar RM4.089,50 per ton, turun dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya di level RM5.011,50 per ton. Hingga awal Desember 2025, harga CPO masih berada di kisaran RM4.000 per ton.

Meski demikian, prospek harga ke depan dinilai lebih konstruktif. Danni memproyeksikan harga CPO berpotensi menguat pada awal tahun mendatang dan bergerak menuju kisaran RM4.500 per ton. Proyeksi ini didorong oleh permintaan musiman menjelang perayaan Tahun Baru Imlek dan Ramadan, yang biasanya meningkatkan konsumsi minyak nabati di pasar internasional.

Dari sisi kinerja ekspor, sektor sawit Malaysia masih mencatatkan tren stagnan. Dalam 11 bulan pertama 2025, volume ekspor minyak sawit mencapai 22,55 juta ton dengan nilai RM103,01 miliar, lebih rendah dibandingkan capaian tahun 2024 yang mencapai 26,66 juta ton senilai RM109,39 miliar. Tekanan pajak dan kebijakan perdagangan di sejumlah negara tujuan turut mempengaruhi kinerja ekspor tersebut.

Namun, minyak sawit tetap menjadi tulang punggung sektor komoditas Malaysia. Data menunjukkan peningkatan produktivitas tandan buah segar (FFB) di sektor perkebunan. Pada periode Januari–Oktober 2025, produktivitas FFB mencapai 14,45 ton per hektare, meningkat dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 13,96 ton per hektare. Capaian ini mencerminkan efisiensi produksi yang terus membaik.

Di sisi lain, tekanan permintaan global masih terasa, khususnya dari pasar utama seperti China. Konsumen di pasar tersebut cenderung beralih ke minyak nabati alternatif yang lebih murah, seperti minyak kedelai. Kondisi ini berdampak pada penurunan pengiriman minyak sawit Malaysia ke China hingga hampir 30 persen dalam 10 bulan pertama 2025.

Lemahnya serapan ekspor turut menyebabkan penumpukan stok domestik. Persediaan minyak sawit Malaysia tercatat melonjak hingga lebih dari 2,7 juta ton, level tertinggi dalam lebih dari enam tahun terakhir. Peningkatan stok ini mencerminkan ketidakseimbangan antara produksi yang relatif tinggi dan pembelian luar negeri yang melambat.

Dari sisi kebijakan domestik, pemerintah Malaysia memperkuat dukungan fiskal kepada sektor sawit, khususnya bagi pekebun kecil. Dalam Anggaran 2026, hampir RM2,4 miliar dialokasikan untuk melindungi lebih dari 720.000 peneroka dan pekebun kecil di bawah naungan FELDA, RISDA, dan FELCRA. Anggaran ini diarahkan untuk modernisasi agribisnis dan penguatan ketahanan ekonomi pekebun.

Selain itu, sekitar RM20 juta dialokasikan untuk mendukung pengembangan mekanisasi dan otomasi melalui kolaborasi dengan Lembaga Minyak Sawit Malaysia serta perusahaan besar industri sawit. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap tenaga kerja asing sekaligus meningkatkan efisiensi biaya produksi. (alf)

id_ID