Kebijakan Fiskal Purbaya Disebut Jadi Motor Pemulihan Ekonomi Domestik

IKPI, Jakarta: Sejak resmi menggantikan Sri Mulyani Indrawati pada 8 September 2025, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa langsung memutar arah kebijakan fiskal Indonesia. Gebrakan teranyar: mengalihkan dana pemerintah sebesar Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara.

Langkah tersebut menjadi sinyal kuat bahwa kebijakan fiskal era Purbaya akan digunakan sebagai motor pemulihan ekonomi domestik, bukan sekadar instrumen menjaga stabilitas makro.

Chief Economist BNI, Leo Putera Rinaldy, menilai strategi fiskal ekspansif Purbaya sebagai langkah yang “tepat dan diperlukan (necessary)” di tengah ketidakpastian ekonomi global.

“Sekarang semua negara mulai fokus memperkuat ekonomi domestik karena perdagangan dunia makin tidak pasti dan sangat volatil,” ujar Leo dalam forum BNI Economic Perspective: Navigating Shifts, Building Resilience di Kebayoran Baru, Jakarta, Jumat (24/10/2025).

Menurutnya, arah kebijakan global kini bergerak dari ketergantungan terhadap ekspor menuju penguatan pasar domestik. Ia mencontohkan Tiongkok yang dalam rencana lima tahunan 2026–2030 akan fokus mendorong permintaan dalam negeri. “Tiongkok ingin memperkuat domestic market-nya karena selama ini ekonominya rentan terhadap guncangan global,” ujarnya.

Leo menegaskan bahwa Indonesia memiliki keunggulan struktural karena lebih dari separuh PDB-nya disumbang oleh konsumsi domestik. “Kita beruntung, 54 persen dari kue ekonomi kita sudah domestik. Jadi sejak awal kita relatif tahan terhadap guncangan global karena domestic driven economy,” jelasnya.

Namun, ia mengingatkan bahwa daya tahan itu perlu dijaga dengan kebijakan fiskal yang kuat dan tepat sasaran. Stimulus belanja pemerintah dan insentif pajak menjadi kunci utama untuk menjaga momentum pertumbuhan. “Kalau konsumsi tidak bagus, perusahaan tidak ekspansi. Kalau tidak ekspansi, kredit melambat dan penerimaan pajak ikut tertahan. Itu lingkaran yang harus diputus dengan kebijakan fiskal yang ekspansif,” tegas Leo.

Menurutnya, pendekatan Purbaya Yudhi Sadewa berbeda dari pendahulunya, Sri Mulyani Indrawati, yang dikenal konservatif dalam menjaga defisit. “Kita bisa berdebat soal school of thought, tidak ada yang benar atau salah. Tapi memang Pak Purbaya lebih agresif dalam mendorong pertumbuhan,” ujarnya.

Leo menilai, kebijakan fiskal yang menitikberatkan pada pertumbuhan dan pemerataan ekonomi justru akan memperluas basis pajak di masa depan. “Kalau pertumbuhan ekonomi membaik, lapangan kerja bertambah, konsumsi naik, dan basis pajak ikut meluas. Jadi fiskal ekspansif justru menciptakan efek ganda bagi penerimaan negara,” paparnya.

Lebih jauh, ia menjelaskan bahwa langkah fiskal yang lebih dinamis akan memberi ruang bagi Bank Indonesia untuk fokus menjaga stabilitas moneter. Dengan sinergi fiskal–moneter yang selaras, Indonesia berpotensi memperkuat pondasi ekonominya sekaligus memperluas basis pajak secara berkelanjutan.

“Ini bukan sekadar kebijakan menggeser dana, tapi perubahan arah. Di era Purbaya, fiskal bukan hanya soal angka defisit, tapi instrumen nyata untuk membangkitkan ekonomi rakyat,” pungkas Leo. (alf)

id_ID