IKPI, Jakarta: Pemerintah belum mengunci arah kebijakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk 2026. Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, keputusan penyesuaian tarif PPN masih menunggu hasil kajian yang mempertimbangkan kondisi dan laju pertumbuhan ekonomi nasional.
Berbicara di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Purbaya menyampaikan bahwa pemerintah tidak ingin mengambil langkah spekulatif sebelum memperoleh gambaran ekonomi yang benar-benar konkret. Menurutnya, ruang kebijakan fiskal sangat ditentukan oleh performa pertumbuhan ekonomi dalam periode berjalan.
Ia menjelaskan, bila pertumbuhan ekonomi mampu melampaui 6 persen, pemerintah akan memiliki fleksibilitas yang lebih luas untuk mengelola PPN. Dalam skenario tersebut, opsi kebijakan bisa terbuka ke berbagai arah—baik penyesuaian naik maupun turun—tanpa harus bersandar pada asumsi semata.
“Ketika pertumbuhan kuat, ruang pengolahan kebijakan juga ada. PPN bisa disesuaikan sesuai kebutuhan ekonomi, bukan sekadar menebak,” ujar Purbaya, Senin (15/12/2025).
Meski demikian, pemerintah tetap mencermati konsekuensi fiskal dari setiap opsi. Purbaya mengingatkan bahwa penurunan tarif PPN memiliki implikasi besar terhadap penerimaan negara, dengan potensi kehilangan sekitar Rp70 triliun untuk setiap penurunan 1 persen tarif. Karena itu, kehati-hatian menjadi kunci dalam meramu kebijakan.
Untuk jangka pendek, fokus Kementerian Keuangan diarahkan pada penguatan sistem penerimaan, baik dari pajak maupun bea dan cukai. Purbaya menyebut perbaikan sistem ini akan dipantau hingga setidaknya triwulan II-2026 guna memastikan kapasitas riil penerimaan negara.
Evaluasi awal direncanakan dilakukan pada akhir kuartal I-2026. Dari sana, pemerintah akan menghitung potensi penerimaan yang sesungguhnya, menilai celah fiskal yang ada, serta menakar dampak kebijakan PPN terhadap pertumbuhan ekonomi. Rencana tersebut, kata Purbaya, sudah tersusun jelas di atas kertas, tinggal menunggu momentum eksekusi yang tepat.
Di sisi lain, pemerintah juga memberi sinyal keberlanjutan stimulus untuk menjaga daya beli dan mendorong sektor-sektor strategis. Salah satunya melalui perpanjangan fasilitas PPN Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) 100 persen untuk pembelian properti, yang kini berlaku hingga 31 Desember 2027.
Kebijakan ini diharapkan menopang kelas menengah sekaligus menggerakkan sektor properti yang memiliki efek berganda besar terhadap perekonomian. Dengan estimasi pemanfaatan sekitar 40 ribu unit properti per tahun, pemerintah berharap insentif tersebut menjadi penyangga pertumbuhan sambil menunggu arah ekonomi yang lebih pasti sebelum memutuskan kebijakan PPN 2026. (alf)
