Jumlah Crazy Rich Bertambah, Pajak 35% Ikut Mengalir Deras di Tengah Ekonomi Lesu

Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal. (Foto: Istimewa)

IKPI, Jakarta: Di tengah ekonomi yang belum sepenuhnya pulih, satu kelompok justru menunjukkan tanda-tanda semakin makmur: para crazy rich. Data terbaru Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menunjukkan jumlah wajib pajak berpenghasilan di atas Rp5 miliar per tahun melonjak tajam sepanjang 2025.

Menurut Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Perpajakan, Yon Arsal, jumlah orang yang masuk lapisan pajak tertinggi dengan tarif 35% meningkat hampir 10% dibandingkan tahun sebelumnya.

“Baik jumlah wajib pajaknya maupun kontribusi setoran PPh-nya naik signifikan. Artinya, ada pergerakan positif dari kelompok berpenghasilan tinggi,” kata Yon di Kantor DJP, Jakarta, Senin (20/10/2025).

Kenaikan ini menjadi paradoks tersendiri. Ketika ekonomi rakyat kecil masih tertatih dan banyak sektor bisnis belum pulih penuh, justru segelintir warga superkaya tetap mampu menjaga — bahkan menambah — pundi-pundi kekayaannya.

Namun Yon menegaskan, kenaikan pelapor pajak 35% itu belum sepenuhnya menggambarkan besarnya kekayaan aktual kelompok atas Indonesia. Pasalnya, pajak dengan tarif 35% hanya dikenakan pada penghasilan aktif, seperti gaji atau honor profesional, sedangkan penghasilan pasif seperti bunga deposito, dividen, atau keuntungan aset tanah dikenai pajak final dengan tarif tetap yang jauh lebih kecil.

“Sebagian besar orang kaya tidak hidup dari gaji bulanan. Mereka punya sumber pendapatan dari investasi yang tidak termasuk dalam perhitungan tarif progresif ini,” jelas Yon.

UU HPP Ubah Peta Pajak Orang Pribadi

Kenaikan jumlah wajib pajak 35% tak lepas dari penerapan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang memperluas lapisan tarif penghasilan. Kini, sistem pajak orang pribadi di Indonesia memiliki lima tingkatan:

1. 5% untuk penghasilan kena pajak hingga Rp60 juta,

2. 15% untuk Rp60 juta–Rp250 juta,

3. 25% untuk Rp250 juta–Rp500 juta,

4. 30% untuk Rp500 juta–Rp5 miliar, dan

5. 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.

Struktur tarif baru ini diharapkan membuat sistem perpajakan lebih adil: yang berpenghasilan lebih tinggi ikut memikul beban negara lebih besar.

Peningkatan setoran dari kelompok 35% juga dianggap sebagai hasil dari penguatan sistem pengawasan DJP. Program data matching, akses informasi keuangan, serta digitalisasi pelaporan pajak membuat ruang untuk menghindar semakin sempit.

“Naiknya jumlah pelapor tarif tertinggi bukan semata karena makin banyak orang kaya baru, tapi juga karena sistem kita makin transparan,” ungkap Yon.

Fenomena ini sekaligus mengingatkan akan jurang ekonomi yang kian lebar. Ketika sebagian masyarakat masih berjuang dengan penghasilan stagnan, kelompok kaya tetap tumbuh di atas arus ekonomi yang lesu. Namun dari sisi fiskal, kontribusi mereka menjadi penyokong penting untuk menjaga penerimaan negara tetap stabil tanpa perlu menaikkan tarif atau menciptakan pajak baru.

“Yang penting bukan hanya jumlahnya naik, tapi kesadarannya juga ikut naik. Karena tanpa kepatuhan sukarela, sistem pajak tak akan berjalan,” tutup Yon. (alf)

id_ID