India Minta Negara G20 Dukung Usulan Kenaikan Pajak Perusahaan Multinasional

This handout photograph taken on October 12, 2021 and released by the Indian Press Information Bureau (PIB) shows India's Prime Minister Narendra Modi speaking as he takes part in a virtual G20 Extraordinary Summit on Afghanistan, in New Delhi. (Photo by - / PIB / AFP) / RESTRICTED TO EDITORIAL USE - MANDATORY CREDIT "AFP PHOTO/Indian Press Information Bureau (PIB)" - NO MARKETING - NO ADVERTISING CAMPAIGNS - DISTRIBUTED AS A SERVICE TO CLIENTS

IKPI, Jakarta: Tahun ini India resmi menjabat sebagai ketua Kelompok 20 (G20). Dalam keketuaannya, India dilaporkan akan mendorong negara-negara anggota G20 untuk mendukung usulannya menaikkan pajak yang dibayarkan perusahaan multinasional.

“India telah mengajukan saran untuk mendapatkan hak pajaknya atas kelebihan laba perusahaan multinasional,” kata seorang pejabat, seperti dikutip CNBC Indonesia, Senin (17/7/2023).

Saran tersebut telah disampaikan kepada Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) dan akan dibahas secara luas dalam pertemuan G20 pada Senin dan Selasa, 17-18 Juli mendatang.

Tiga pejabat mengatakan New Delhi menginginkan peningkatan pajak cukup signifikan yang dibayarkan di negara-negara tempat perusahaan tersebut melakukan bisnis. Namun para pejabat yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena diskusi dengan OECD sedang berlangsung dan pertemuan G20 belum dimulai tidak merinci berapa banyak yang dicari India.

Proposal India, yang belum pernah dilaporkan sebelumnya, dapat meredam optimisme di antara anggota G20 seperti Australia dan Jepang bahwa pertemuan menteri keuangan dan gubernur bank sentral di Gujarat akan menghasilkan kemajuan dalam perombakan perpajakan perusahaan global yang telah lama ditunggu.

Lebih dari 140 negara seharusnya mulai menerapkan tahun depan kesepakatan 2021 yang merombak aturan lama tentang bagaimana pemerintah mengenakan pajak pada perusahaan multinasional. Aturan saat ini secara luas dianggap ketinggalan zaman karena raksasa digital seperti Apple atau Amazon dapat membukukan keuntungan di negara dengan pajak rendah.

Kesepakatan itu, yang didorong oleh Amerika Serikat (AS), akan memungut pajak minimal 15% untuk perusahaan global besar, ditambah pajak tambahan 25% untuk “laba berlebih”, seperti yang didefinisikan oleh OECD.

Berdasarkan perjanjian tersebut, perusahaan global dengan pendapatan tahunan lebih dari 20 miliar euro (Rp335 triliun) dianggap menghasilkan laba berlebih jika laba melebihi pertumbuhan tahunan 10%. Biaya tambahan 25% dari keuntungan berlebih ini akan dibagi di antara negara-negara.

Tetapi beberapa negara memiliki kekhawatiran tentang perjanjian multilateral yang mendasari elemen utama dari rencana tersebut, dan beberapa analis mengatakan perombakan tersebut berisiko gagal.

India, yang memperjuangkan bagian pajak yang lebih tinggi untuk pasar tempat perusahaan melakukan bisnis, adalah negara terpadat di dunia dan akan menjadi salah satu pasar konsumen terbesar. Pendapatan rata-rata orang India akan tumbuh lebih dari 13 kali lipat menjadi US$27.000 pada akhir tahun 2047, menurut sebuah survei yang dilakukan oleh People’s Research on India’s Consumer Economy.

Negara tuan rumah G20 juga akan mengusulkan agar pemotongan pajak dipisahkan dari prinsip pajak keuntungan berlebih. Aturan sekarang mengatakan negara mengimbangi bagian pajak mereka dengan pajak pemotongan yang mereka kumpulkan. (bl)

id_ID