IKPI, Jakarta: Ketua Umum Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Vaudy Starworld mendukung pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu), agar segera menyusun dan menerbitkan regulasi yang mengatur dengan jelas keberadaan serta kewenangan pihak-pihak yang menerima kuasa dari wajib pajak, baik yang merupakan konsultan pajak maupun pihak lain. Regulasi tersebut dinilai krusial untuk menciptakan kepastian hukum dan menjaga integritas profesi konsultan pajak di Indonesia maupun kuasa wajib pajak dari pihak lain dalam membantu wajib pajak memenuhi hak dan/atau kewajiban di bidang perpajakan sebagaimana diatur pada UU HPP.
Menurut Vaudy, hingga saat ini belum ada aturan tegas yang mengatur mengenai pengertian “kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan” sebagaimana dimaksud pada Pasal 32 ayat (3a) UU HPP. Hal ini sangat penting di atur untuk membedakan secara formal antara kuasa wajib yang diberikan kepada konsultan pajak dan yang diberikan kepada pihak lain (non-konsultan pajak). Akibatnya, banyak wajib pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah hanya konsultan pajak.
“Ini celah hukum yang sangat serius. Tidak hanya membahayakan kepentingan wajib pajak, tapi juga merusak kredibilitas sistem perpajakan secara keseluruhan bahkan profesi konsultan pajak sendiri,” tegasnya.
IKPI mengusulkan agar pemerintah tidak hanya membedakan secara administratif antara dua kelompok ini, tapi juga memberikan perlakuan yang setara dari sisi pengawasan dan kewajiban. Ia menekankan bahwa siapa pun yang menerima kuasa dari wajib pajak dalam urusan perpajakan, baik konsultan pajak maupun pihak lain (non-konsultan pajak) harus tunduk pada persyaratan dan standar profesional yang sama.
“Kalau pemerintah mengizinkan non-konsultan untuk bertindak sebagai kuasa wajib pajak, maka mereka juga harus dikenai kewajiban dan hak yang sama seperti konsultan pajak. Mereka harus diwajibkan ujian sertifikasi, menyampaikan laporan tahunan kepada pemerintah, serta mengikuti Pengembangan Profesional Berkelanjutan (PPL) sesuai ketentuan yang berlaku, bahkan mempunyai kode etik,” ujarnya.
IKPI menilai bahwa perlakuan berbeda antara konsultan pajak dan pihak lain yang bekerja di bidang perpajakan ini justru menciptakan ketimpangan dan ketidakadilan dalam praktik perpajakan. Aturan tentang Konsultan Pajak sudah jelas yaitu pada PMK 175/PMK.03/2022, pada PMK ini membebankan konsultan pajak dari berbagai kewajiban profesional, mulai dari pelaporan, kode etik, hingga pengembangan kapasitas secara berkelanjutan, sementara pihak lain non-konsultan tidak ada pengaturan yang jelas pada hal keduanya bekerja pada bidang yang sama yaitu membantu wajib pajak untuk memenuhi hak dan/atau kewajiban perpajakannya.
“Jika dibiarkan seperti ini, konsultan pajak akan selalu berada di posisi tidak seimbang bahkan cenderung menjadikan profesi konsultan pajak sebagai profesi yang tidak menarik dibandingkan kuasa wajib pajak dari pihak lain. Kami kami harus ujian sertifikasi, diawasi, kami dikenai PPL, kami tunduk pada kode etik dan sanksi, kami di atur melalui peraturan Menteri keuangan sedangkan kuasa wajib pajak dari pihak lain tidak ada pengaturannya. Padahal mereka juga terlibat langsung dalam kegiatan perpajakan melalui kuasa wajib pajak. Ini sangat tidak adil. Untuk itu IKPI sangat mendukung pengaturan mengenai kuasa wajib pajak sesuai amanat UU HPP,” katanya.
Sebagai organisasi profesi yang menaungi lebih dari 7.000 konsultan pajak bersertifikat di seluruh Indonesia, IKPI meminta agar Kemenkeu segera menyusun regulasi yang memuat:
• Definisi dan kriteria kuasa wajib pajak,
• Kewajiban pelaporan dan pengembangan profesional berkelanjutan bagi seluruh penerima kuasa,
• Sanksi administratif dan pidana bagi pihak yang mengaku sebagai kuasa wajib pajak tanpa legitimasi,
• Kewajiban registrasi dalam sistem informasi resmi Kemenkeu seperti SIKoP bagi konsultan pajak.
“Regulasi ini bukan hanya untuk melindungi profesi wajib pajak, tapi lebih penting lagi untuk melindungi wajib pajak dan menjaga wibawa hukum sistem perpajakan kita. Semua pihak yang menjalankan fungsi strategis dalam sistem perpajakan harus tunduk pada aturan yang adil dan setara,” kata Vaudy.
Diketahui, pernyataan Vaudy ini mengacu kepada Pasal 32 ayat (3a) UU KUP dalam UU HPP yang berbunyi “Seorang kuasa yang ditunjuk harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua,”
Lebih lanjut ia menyebutkan, pada Pasal 32 ayat (3) UU HPP mengatur bahwa orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Pada penjelasan Pasal 32 ayat (3) UU HPP menjelaskan mengenai seorang kuasa, yaitu orang yang menerima kuasa khusus dari Wajib Pajak untuk melaksanakan hak dan/atau memenuhi kewajiban perpajakan tertentu dari Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2022 khususnya Pasal 51, pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak. Yaitu membedakan Kuasa Wajib Pajak yang terdiri dari Konsultan Pajak, Pihak Lain, atau Keluarga. Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah ini pemerintah memperjelas ketentuan mengenai Kuasa Wajib Pajak.
Namun, pada prakteknya Wajib Pajak tidak dapat membedakan antara Kuasa Wajib Pajak dari Konsultan Pajak maupun Pihak Lain. Wajib Pajak menganggap profesi yang berhubungan dengan perpajakan adalah konsultan pajak saja, namun UU HPP telah membedakan antara profesi Konsultan Pajak maupun Pihak Lain dalam membantu Wajib Pajak untuk memenuhi hak da/atau kewajibannya. (bl)