IKPI Mendorong Adanya Re-desain Peraturan Perpajakan

Ketua Departemen Hubungan Internasional, PP-IKPI T Arsono. (Foto: Dok. Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

IKPI, Jakarta: Saat ini kita sering menjumpai pada sudut kantor-kator lembaga pemerintah, tulisan “ASEAN Matters: Epicentrum of Growth”. Bahwa tulisan tersebut merupakan cita-cita luhur bagi Indonesia dan masyarakat ASEAN untuk menjadikan wilayah ASEAN sebagai Epicentrum of Growth. Epicentrum of Growth dapat dimaknai sebagai pusat pertumbuhan ekonomi sehingga ke depannya agar ASEAN menjadi lebih adaptif, responsif, dan berdaya saing.

Cita-cita luhur tersebut, sudah sepantasnya mendapat dukungan dari seluruh kalangan tidak saja Pemerintah selaku pembuat kebijakan namun termasuk pula Konsultan Pajak. Demikian dikatakan Ketua Departemen Hubungan Internasional Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) T. Arsono dalam acara Profesi Keuangan Expo 2023 di Gedung Dhanapala, Kementerian Keuangan, Rabu (26/7/2023).

(Foto: Dok. Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Menurut Arsono, dari sisi kebijakan perpajakan, ada beberapa hal yang harus diperbaiki bila kita menginginkan bersama-sama mewujudkan cita-cita luhur sebagaimana arahan oleh Presiden Joko Widodo.

Salah satu kebijakan perpajakan yang harus diterapkan kata dia, adalah fundamental freedom (antara lain) freedom of movement of capital dan freedom of establishment. Orientasi perpajakan di Indonesia tidak seharusnya berfokus pada capaian target penerimaan saja, melainkan juga menciptakan lingkungan bisnis yang bersahabat dengan arus investasi baik investasi masuk (inbound) maupun investasi keluar (outbound).

Bahwa saat ini ketentuan perpajakan yang ideal masih perlu diupayakan sehingga perlakuan perpajakan lebih menggambarkan utilisasi palayanan public yang diberikan oleh Pemerintah. Pemilihan bentuk usaha seperti Cabang misalnya – masih diberikan perlakukan perpajakan yang kurang menguntungkan bila dibandingkan dengan pemilihan bentuk usaha anak perusahaan (subsidiary). Sehingga pembedaan perlakuan seperti ini mengurangi kebebasan bagi para pelaku usaha. Padahal pemilihan bentuk usaha anak perusahaan (subsidiary) belum tentu cocok bagi para pelaku usaha luar negeri yang ingin masuk ke Indonesia.

(Foto: Dok. Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

Sesuai topik Epicentrum of Growth lanjut Arsono, tentu akan muncul pertanyaan apakah perlu untuk melakukan re-design ulang Undang-Undang Perpajakan yang berlaku ?. Mengingat masih ada beberapa peraturan yang belum ideal untuk diterapkan. Namun saya tidak ingin mengatakan bahwa peraturan perpajakan yang berlaku saat ini merupakan peraturan yang salah,” ujarnya.

Jika pemerintah menginginkan ASEAN sebagai wilayah yang punya daya saing tinggi, Arsono menuturkan ada dua fundamental freedom yang seharusnya diterapkan dalam kebijakan perpajakan Indonesia. “Bagi teman-teman yang belajar kebijakan Pajak Penghasilan (PPh) pasti telah mengetahuinya, yang dikenal dengan freedom of movement of capital dan freedom of establishment,” kata dia.

Apa yang dimaksud freedom of movement of capital? Arsono mencontohkan bahwa suatu investasi harus diberikan kebebasan apakah harus melakukan investasi ke dalam maupun keluar (inbound atau outbound). Demikian juga dengan freedom of establishment yang dapat dimaknai sebagai setiap pelaku bisnis harus diberikan kebebasan memilih bentuk usuha yang paling tepat untuk kepentingan bisnis mereka.

(Foto: Dok. Departemen Humas PP-IKPI/Bayu Legianto)

“Para pelaku usaha boleh masuk ke Indonesia melalui kantor cabang. Hal ini sebagaimana telah dilakukan berbagai perbankan internasional yang beroprasi di Indonesia melalui bentuk cabang atau mungkin bentuk yang lain seperti pendirian anak perusahaan di Indonesia, dan sebagainya,” kata Arsono.

Untuk itu, Arsono menegaskan bahwa tidak boleh ada perlakuan perpajakan yang berbeda. Meskipun secara legal bentuk usaha tersebut berbeda. Namun sekali lagi pajak akan mendasarkan pada substansi ekonomi-nya.

Inilah kata dia, beberapa persoalan yang harus ditinjau kembali sebagai langkah untuk mencapai ASEAN Matter: Epicentrum of Growth.

Lebih jauh dia mengungkapkan, jika melihat situasi di mana subjek pajak luar negeri memilih untuk melakukan bisnisnya melalui anak perusahaan, maka di sini bisa dilihat ada perbedaan perlakuan dengan mereka yang memilih masuk ke Indonesia melalui cabang, mengapa?

Kita dapat melihat pada Pasal 4 ayat 3 huruf f) Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dikatakan di sana bahwa dividen yang dibagikan oleh subjek pajak dalam negeri kepada badan bukan merupakan obyek pajak. Dalam situasi ini pengenaan pajak berganda (economy double taxations) akibat penerapan classical system perpajakan dapat dihilangkan.

Namun kata Arsono, ketika dividen itu dibagikan kepada subyek pajak luar negeri, sebagaimana ketentuan sebagaimana Pasal 26 Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dividen tersebut akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 20%. Walaupun demikian besaran tarif pajak sebesar 20% tersebut dapat berkurang menjadi 5%, 10% atau 15% sesuai perjanjian penghindaran perpajakan antara Indonesia dengan mitra treatynya. Dan bisa pula menjadi bukan obyek pajak apabila deviden tersebut diinvestasikan kembali di Indonesia.

“Jadi situasinya sebenarnya sama, tetapi yang membedakan adalah satu sebagai Subjek Pajak Dalam Negeri (SPDN) dan Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN), namun dalam situasi yang pertama, economy double taxations dapat dihilangkan sedangkan dalam situasi kedua pengenaan pajak berganda (“economic double taxation”) tidak bisa dihindari” katanya.

Saya melihat dalam situasi ini, masih terdapat perbedaan perlakuan perpajakan antara situasi yang pure domestic dengan situasi lintas batas (“cross border”).

Hal kedua menurut Arsono berkaitan dengan kerugian, yang masih terdapat perbedaan perlakuan. Contohnya, dalam situasi pure domestic – kerugian cabang tentu langsung dapat dikonsolidasi dengan kentungan kantor pusat. Namun perlakuan yang berbeda, yakni dalam situasi lintas batas (“cross border”) atas kerugian tersebut tidak dapat dikonsolidasi. Pengaturan yang demikian masih merupakan pengaturan yang belum ideal. Tentu pilihan Undang-Undang Perpajakan yang demikian didasarkan pada pertimbanhgan dan alasan tertentu.

“Namun, jika kembali kepada cita-cita luhur yakni mewujudkan ASEAN sebagai Epicentrum of Growth, maka pembedaan perlakuan perpajakan yang seperti itu harus dipertimbangkan kembali ssehingga terdapat freedom of movement of capital dan freedom of establishment.

Kembali dicontohkan Arsono, jika dirinya memilih mendirikan cabang di Singapura (outbound) dibandingkan mendirikan cabang perusahaan di Medan (inbound) – siituasi ini akan mendapatkan perlakuan perpajakan yang berbeda.

“Karena kantor pusat perusahaan itu berada di Jakarta, maka jika terjadi kerugian pada cabang Medan mereka, kerugian tersebut akan dikonsilodasikan dengan kantor Pusat di Jakarta. Tetapi apabila kerugian itu terjadi di kantor cabang Singapura, maka kerugian tersebut tidak bisa dikonsolidasikan dengan kantor pusat Jakarta. Perbedaan perlakuan perpajakan seperti itu akan menjadi penghalang bagi para pelaku bisnis Indonesia untuk bergerak keluar (ekspansi),” ujarnya.

Padahal kata Arsono, bahwa perluasan usaha keluar (outbound) dengan pembukaan cabang di luar negeri sebagai langkah awal ekspansi demi kejayaan para pelaku usaha Indonesia ke luar negeru, tetapi mereka terbelenggu oleh kebijakan perpajakan yang tidak menguntungkan. “Jadi, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan kembali agar freedom of movement of capital dan freedom of servicemen bisa berjalan dengan baik, sehingga ASEAN sebagai epicentrum of growth itu bisa dicapai,” kata Arsono. (bl)

id_ID