KetuaIKPI, Bali: Pemerintah Provinsi Bali, berencana mengenakan biaya masuk Rp 150 ribu kepada wisatawan mancanegara (wisman) yang melancong ke Pulau Dewata. Namun demikian, rencana itu masih dilakukan pembahasan di internal Pemprov Bali.
Menanggapi rencana itu, Ketua Pengda Bali Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Adi Krisna, menyatakan apa yang direncanakan itu merupakan kebijakan yang baik bagi keberlangsungan pariwisata Bali kedepan.
Adi menuturkan, sudah sejak lama sebenarnya diperjuangkan oleh Pemprov Bali dan masyarakat untuk mendapatkan pembagian dana Visa on Arrival (VoA) dari setiap wisman yang datang. Mereka membayar sebesar Rp 500.000 per orang.
“Tahun 2019 sebelum Covid-19, kunjungan wisman ke Bali mencapai 6.275.210 orang naik 3,7% dari tahun sebelumnya 2018 sebesar 6.070.473 wisman. Dapat dihitung besarnya PNBP dari VoA berdasarkan PP No. 28 tahun 2019. Sayangnya, Pemprov Bali belum mendapatkan bagian itu,” ujarnya, Selasa (1/8/2023).
Menurut Adi, di tengah hiruk pikuk kemewahan pariwisata, Bali sangat memerlukan dana untuk perbaikan infrastruktur seperti pelebaran jalan, pasokan air bersih dan penanganan permasalahan sampah. Tentunya dalam jangka panjang kondisi itu dapat merusak lingkungan di Bali dan menjadi boomerang industri pariwisata itu sendiri.
“Bali sangat memerlukan dana untuk perbaikan infrastruktur untuk menunjang sektor pariwisata. Jadi pungutan Rp 150 ribu dari wisman yang melancong ke Bali saya rasa sangat wajar dan masuk akal,” kata Adi.
Menanggapi kemungkinan pungutan biaya masuk wisman akan berdampak pada menurunya kunjungan ke Bali, Adi meyakini bahwa kemungkinan itu sangat kecil. Pasalnya, menurut data yang dia dapatkan dari Dinas Pariwisata Bali, minat wisman berkunjung ke pulau itu masih sangat tinggi.
“Jika ada penurunan kunjungan, diharapkan hal itu akan lebih menambah kualitas wisman yang masuk ke Bali. Jadi kedepan memang harus mengejar pengunjung yang berkualitas, dan bukan kuantitas pengunjung. Ini juga untuk menjaga kelestarian alam dan budaya Bali,” katanya.
Saya mencoba mencari data di online yang mungkin bisa memberikan gambaran dampak pariwisata Bali untuk penerimaan pajak. Pada tahun 2021 Bali secara total tertutup untuk kunjungan wisma baru tahun 2022 pariwisata mulai dibuka dan mulai nampak menggeliat walaupun belum semua negara memperbolehkan warganya untuk berwisata ke Bali, seperti Jepang dan china.
Diungkapkannya, berdasarkan informasi yang diperoleh secara online yang dimuat di portal NusaBali, rilis dari Kanwil DJP Bali “pada tahun 2022 seiring dengan mulai pulihnya pariwisata di Pulau Dewata, penerimaan pajak pada semester I tahun 2022 mengalami lonjakan hingga 36,05 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu”. Sangat besar dampak industri pariwisata untuk perekonomian Bali tentunya buat penerimaan pajak juga.
Namun kata dia, sayangnya dana VoA belum secara langsung dapat diterima dan dinikmati warga Bali.
“Harapan saya adalah hasil dari pungutan ini dapat dikelola secara transparan, semua pihak yang berkepentingan mendapatkan akses, mengetahui pengelolaan dan pemanfaatan hasil pungutan ini termasuk juga wisatawan yang membayar pungutan ini agar mereka merasakan peningkatan pelayanan publik langsung dari pungutan ini,” ujarnya.
Dia juga menegaskan terlalu dini untuk memberikan pendapat bahwa pungutan itu nantinya akan berdampak negatif bagi sektor pariwisata Bali, karena pungutan ini baru akan diterapkan tahun 2024. Dengan demikian, menurutnya substansi dari kebijakan itu adalah manfaat langsung dapat dinikmati oleh wisman seperti meningkatkan pelayanan publik, kenyamanan dari peningkatan sarana dan prasarana.
“Pendapat saya wisatawan tidak akan merasa terbebani jika harga yang mereka bayar selaras dengan kenyamanan yang akan mereka terima. Jika semua ini bisa berjalan, tertunya aturan ini bisa di contoh oleh Lombok dan Labuan Bajo. Harapan saya sebagai warga, dana pungutan ini dapat dimanfaatkan sebaik mungkin dan langsung dapat dinikmati untuk perbaikan pelayanan dan fasilitas agar industri pariwisata Bali bisa berkelanjutan,” katanya. (bl)