Software merupakan salah satu karya hak cipta berupa aset tak berwujud (intangible asset). Ketika membahas Pajak Penghasilan atas transaksi tersebut, pikiran pertama yang muncul biasanya adalah pembayaran royalti yang terkait dengan pemotongan objek Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23/26.
Namun, penting untuk memahami bahwa tidak semua transaksi pembelian software terkait dengan pemotongan PPh 23/26. Tulisan in lebih lanjui akan memperjelas berbagai situasi yang memengaruhi kewajiban pajak.
Aset adalah sumber daya yang dimiliki oleh suatu entitas dan diharapkan dapat memberikan manfaat di masa depan. Aset tak berwujud, seperti hak cipta, paten, dan merek dagang adalah bentuk aset yang tidak memiliki wujud fisik.
Menurut undang-undang, hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang muncul secara otomatis saat suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata.
Software, seperti halnya buku atau film yang merupakan karya cipta yang dilindungi oleh hak cipta. Setiap individu atau entitas yang ingin menggunakan karya ini harus membeli lisensinya, dan tindakan menyalin atau menggandakannya tanpa izin karena itu jelas melanggar hukum.
Dalam konteks ini, tentu banyak muncul pertanyaan mengenai bagaimana tentang pembayaran royalti?. Misalnya, ketika Gramedia menerbitkan dan menjual buku. Gramedia tentunya harus membayar royalti kepada penulis berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
Namun, situasi berbeda terjadi ketika seseorang membeli buku dari Gramedia. Dalam kasus ini, pembeli tidak membayar royalti karena transaksi tersebut adalah jual beli biasa.
Contoh serupa dapat diambil dari industri film. Jika Pengusaha bioskop membeli hak tayang dari produser film, bioskop tersebut wajib membayar royalti berdasarkan kesepakatan yang ada. Dalam hal ini, pembayaran royalti menjadi objek pemotongan PPh 23/26.
Dengan demikian, ketika membahas software perlakuan pengenaan pajak pun akan diberlakukan hukum yang sama. Semisal, PT ABC membeli software dari eBay, di dalam transaksinya PT ABC melakukan pembelian barang tanpa adanya perjanjian untuk menggandakan atau membayar royalti. Oleh karena itu, tidak ada kewajiban pemotongan PPh 23/26 dalam kasus ini.
Dari pembahasan ini, jelas bahwa objek PPh Pasal 23/26 tidak selalu terkait langsung dengan transaksi pembelian aset tak berwujud seperti software. Penentuan kewajiban pajak bergantung pada karakteristik transaksi yang dilakukan.
Jika tidak ada unsur royalti, maka transaksi tersebut tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23/26. Dengan pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini, diharapkan pelaku usaha dapat melakukan transaksi secara tepat dan mematuhi ketentuan pajak yang berlaku.
Penulis adalah Ketua Dept FGD Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI)
Suwardi Hasan, S.H., S.E., M.Ak., Ak., CA
Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis.