Kenaikan PBB P-2 : Tantangan Penerimaan Pajak Bagi Daerah

Beberapa waktu yang lalu terjadi kericuhan dalam aksi yang menuntut bupati Pati mundur dari jabatannya yang menyebabkan polisi dan warga terluka.Selain itu kantor bupati dan Gedung DPRD Pati juga menga;ami kerusakan. Penyebab terjadinya kericuhan adalah Keputusan bupati Pati untuk menaikkan  PBB P-2 menjadi 250%.Ternyata daerah lain seperti Jombang,Banyuwangi ,dan Cirebon juga menaikkan PBB P-2 dengan rata-rata kenaikan di atas 100%. Pertanyaan yang muncul adalah sejauh mana kewenangan propinsi,kabupaten,dan kota untuk menentukan  PBB P-2 ?

Daerah Tidak  Mandiri Sepenuhnya Dalam Menentukan PBB P-2

Kewenangan daerah di dalam menentukan PBB P-2 telah diamanatkan di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pusat Dan Daerah (HKPD).Namun kewenangan tersebut tidak sepenuhnya berada di daerah . Hal tersebut tercermin di dalam beberapa pasal di dalam  aturan UU HKPD yaitu:

  1. Rancangan peraturan daerah (Perda) mengenai pajak daerah yang telah disetujui bersama oleh gubernur dan DPRD provinsi ,sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada menteri dalam negeri dan menteri keuangan paling lama tiga hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.Untuk Rancangan peraturan daerah (Perda) mengenai pajak daerah di tingkat kabupaten/kota yang telah disetujui bersama oleh bupati/walikota dengan DPRD kabupaten/kota,sebelum ditetapkan wajib disampaikan kepada gubernur,Memteri dalam negeri ,dan Menteri keuangan paling lama 3 hari kerja terhitung sejak tanggal persetujuan.
  2. Untuk rancangan Perda tingkat provinsi,Menteri dalam negeri akan menguji kesesuaian rancangan perda dengan ketentuan di dalam UU HKPD ,kepentingan umum,dan/atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Menteri keuangan melakukan evaluasi dari segi kebijakan fiskal nasional.Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan Menteri dalam negeri dengan Menteri keuangan  disampaikan Menteri dalam negeri kepada gubernur paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya rancangan peraturan daerah dengan tembusan kepada Menteri keuangan . Sedangkan untuk rancangan Perda di tingkat kabupaten/kota ,gubernur akan menguji kesesuaian rancangan perda tersebut dengan ketentuan di dalam UU HKPD,kepentingan umum,dan/atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.Menteri keuangan juga melakukan evaluasi dari segi kebijakan fiskal nasional. Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan gubernur dengan Menteri keuangan disampaikan kepada bupati/walikota paling lama 15 hari kerja sejak diterimanya rancangan perturan daerah dengan tembusan kepada Menteri keuangan
  3. Atas rancangan Perda yang telah mendapatkan persetujuan dan telah ditetapkan gubernur/bupati/walikota menjadi Perda harus disampaikan kembali kepada Menteri dalam negeri dan Menteri keuangan paling lama 7 hari kerja setelah ditetapkan untuk dievaluasi.

Cara Mengamankan Pendapatan Dari Pajak Daerah

Dari uraian di atas ,dapat diketahui betapa terbatasnya kewenangan daerah dalam menentukan pajak daerahnya karena masih ada intervensi dari pemerintah pusat.Namun di sisi yang lain,pemerintah pusat ingin memastikan kebijakan fiskal di daerah tidak bertentangan dengan kebijakan fiskal nasional.Hal ini bisa saja berdampak pada pencapaian penerimaan pajak daerah yang tidak optimal.

Ada beberapa kebijakan yang bisa dilakukan daerah untuk mengamankan pendapatan daerahnya. Pertama, daerah dapat mengadakan dan memperluas jenis insentif pajak PBB P-2 yang meliputi pembebasan pokok sampai dengan jumlah tertentu.pengurangan pokok,keringanan pokok,,dan pembebasan sanksi administratif.Tujuannya agar beban pajak yang ditanggung masyarakat lebih adil ,proporsional,dan meningkatkan kepatuhan untuk membayar PBB P-2.

Kedua, pemerintah harus lebih mengawasi secara ketat mengenai  peraturan daerah di bawahnya.Untuk tingkat pusat dan provinsi,  pengawasan berjalan relatif baik.Namun untuk tingkat  kabupaten/kota ,pengawasan oleh  provinsi tidak berjalan optimal. Kasus kejadian di Pati merefleksikan hal tersebut.Provinsi perlu menyusun acuan indeks penetapan PBB P-2 yang berdasarkan data pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat di kabupaten/kota. indeks tersebut akan menjadi acuan bagi kabupaten/kota untuk menetapkan PBB P-2 dan penetapan PBB P-2  tidak boleh melewati indeks tersebut.

Ketiga, pemerintah daerah dengan anggaran pendapatan daerah yang terbatas,dapat menyatukan program anggaran daerahnya dengan program anggaran daerah yang ditentukan pusat.Hal tersebut bisa dilakukan dengan menyinkronkan program pembangunan prioritas di daerah yang dibiayai pendapatan asli daerah,dana alokasi umum “earmarked”,dan dana alokasi umum “blockgrant”.Walaupun ada pemotongan transfer ke daerah oleh pusat,namun dengan kebijakan tersebut diharapakan tidak akan mengganggu pembangunan dan pertumbuhan ekonomi di daerah.

Keempat, daerah harus menekan kebocoran anggarannya dan melakukan penghematan.Berdasarkan “executive summary” dari Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan tentang pemaparan efisiensi APBD berdasarkan Inpres 1/2025,diketahui mayoritas dana alokasi umum”blockgrant” digunakan untuk membiayai gaji ASN di daerahnya.Sudah saatnya daerah memikirkan agar menerapkan tunjangan gaji ASN berdasarkan kinerja pelayanan birokrasi ke masyarakat umum. Semoga dangan keempat cara tersebut , akselerasi pertumbuhan ,dan penguatan kesejahteraan rakyat di daerah bisa cepat terwujud untuk mendukung Visi Indonesia Emas 2045.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Jakarta Utara

Cunyah Tantan

Email:cunyah_tantan@yahoo.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

en_US