Akuntansi Benteng Pertahanan Wajib Pajak Dalam Kasus Pemeriksaan Pajak

Literasi akuntansi di Indonesia masih tergolong rendah, sebagaimana terlihat dari pengalaman saya mengajar mata kuliah akuntansi di beberapa universitas di Jakarta. Bahkan, banyak mahasiswa jurusan akuntansi merasa bahwa disiplin ilmu ini merupakan tantangan yang berat.

Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

1. Akuntansi membutuhkan ketelitian tinggi dan keterampilan berhitung di atas rata-rata.

2. Diperlukan daya nalar yang kuat serta kemampuan abstraksi untuk memahami standar akuntansi yang rigid.

3. Logika yang baik menjadi faktor krusial dalam penerapan konsep akuntansi dengan benar.

Tidak mengherankan bahwa untuk diterima masuk ke program studi akuntansi di universitas negeri terkemuka, seperti UI, UGM, UNDIP, UNPAD, UNAIR & UB (layer pertama) membutuhkan nilai UTBK yang tinggi, umumnya di atas 700, sehingga hanya kandidat dengan kecerdasan akademik unggul yang dapat diterima.

Terbatasnya Lulusan Akuntansi Berkualitas dan Dampaknya

Sehubungan daya tampung mahasiswa akuntansi di perguruan tinggi unggulan sangat terbatas, akibatnya jumlah lulusan relatif sedikit dan kebanyakan dari lulusan tersebut langsung direkrut oleh perusahaan besar. Akibatnya, perusahaan kecil dan menengah tidak kebagian, sehingga mereka terpaksa harus merekrut lulusan akuntansi dari universitas layer dua dan seterusnya, yang secara relatif kualitas akademiknya lebih rendah dibandingkan lulusan dari universitas layer pertama.

Konsekuensi dari keterbatasan tenaga akuntansi berkualitas antara lain:

1. Proses pencatatan keuangan yang tidak memenuhi standar, mengakibatkan laporan keuangan yang kurang kredibel dan reliabel.

2. Penguasaan standar akuntansi lemah, padahal standar akuntansi yang menjadikan laporan keuangan menjadi lebih berharga.

3. Kesalahan dalam pelaporan pajak, khususnya dalam penyusunan koreksi fiskal.

Urgensi Pembukuan Akurat dalam Pemeriksaan Pajak

Sesuai dengan Pasal 28 UU No. 28 Tahun 2007 tentang KUP, jumlah pajak terutang harus ditetapkan berdasarkan pembukuan yang sesuai dengan standar akuntansi. Jika pembukuan tidak akurat, pemeriksa pajak berhak menetapkan pajak terutang berdasarkan perhitungan sendiri, dan hal ini berpotensi meningkatkan risiko bagi wajib pajak dalam bentuk beban pajak menjadi tidak efisien, atau beban pajak tidak tepat.

Oleh karena itu, wajib pajak harus menyusun laporan keuangan sesuai standar akuntansi yang berlaku umum. Hal ini penting, untuk memastikan wajib pajak patuh terhadap regulasi perpajakan. Kepatuhan wajib pajak mengakibatkan laporan keuangan menjadi transparan, akuntabel sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam pengambilan keputusan.

Sebagai ilustrasi, dalam sebuah pemeriksaan pajak akibat adanya permohonan restitusi, sering ditemukan perbedaan total penjualan dalam laporan laba rugi dan SPT PPN. Perbedaan ini akan memicu pertanyaan dari pemeriksa pajak, karena perbedaan timbul pasti akibat adanya sesuatu hal yang tidak sesuai standar akuntansi atau peraturan perpajakan.

Melihat kondisi ini, pemeriksa pajak biasanya akan menguji dan memvaliditasi pembukuan dengan cara mengajukan pertanyaan sederhana seperti berikut ini:

1. Berapa jumlah penjualan yang sebenarnya? Apakah sesuai dengan SPT PPN atau laporan laba rugi?

2. Jika wajib pajak tidak dapat memberikan jawaban yang jelas, hal ini mengindikasikan bahwa pembukuan dan SPT ada masalah.

3. Ketidakmampuan menjelaskan perbedaan antara laporan keuangan dan SPT PPN dapat menjadi dasar bagi pemeriksa pajak untuk mempertanyakan kebenaran klaim restitusi pajak tersebut?

Situasi ini sering terjadi dalam praktik. Oleh karena itu, literasi akuntansi staf perpajakan perusahaan harus menjadi perhatian pengurus perusahaan, karena kalau tidak diperhatikan, artinya ada kesengajaan pengurus perusahaan untuk tidak bertanggungjawab terhadap aset perusahaan.

Studi Kasus: Dilema Laporan Keuangan yang Meragukan dalam Pengajuan Restitusi PPN.

Sebagai ilustrasi, PT XYZ adalah perusahaan properti yang telah terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) sejak awal berdiri tahun 2022. Dalam dua tahun pertama, PT XYZ tidak memiliki penjualan sehubungan dengan properti yang dimilikinya sedang dalam proses konstruksi, sehingga belum bisa disewakan dan konsekwensinya tidak ada penjualan dan tidak bisa menerbitkan Faktur Pajak Keluaran. Sementara itu, sejak awal berdirinya perusahaan, tetap menerima Faktur Pajak Masukan atas pengeluaran yang dibayarkan kepada kontraktornya, akibatnya terjadilah PPN lebih bayar Rp30.000.000.000,-.

Dalam kasus ini, diasumsikan bahwa proses pembukuan PT XYZ tidak disusun sesuai dengan kaidah atau standar akuntansi yang berlaku umum, misalnya tidak terdapat dokumen pengeluaran kas berupa bukti transfer, invoice dan faktur pajak terkait. Selain itu, terdapat perhitungan beban tidak berlandaskan kontrak atau berita acara penerimaan pekerjaan yang jelas, sehingga pertanggungjawaban aset perusahaan menjadi tidak jelas dan lengkap. Semua kejadian ini, diakibatkan oleh karena staff akuntansi yang bertanggungjawab menjalankan proses akuntansi tidak memahami konsekwensi logis dan hukum atas keteledorannya.

Selanjutnya, ketika melihat dan menimbang jumlah PPN lebih bayar tersebut, Direktur Keuangan menghadapi dilema: dimana, jika pemeriksaan pajak kelak hanya mengakui pajak lebih bayar sebesar Rp20 miliar, dengan demikian, perusahaan akan mencatatkan kerugian Rp10 miliar. Kondisi ini pasti mengakibatkan implikasi yang sangat besar dan konsekwensinya berat terhadap Direktur Keuangan, karena mentriger adanya pertanyaan kritis dari pemegang saham perusahaan.

Untuk menghindari risiko tersebut, Direktur Keuangan biasanya akan memilih untuk tidak mengajukan restitusi yang berimplikasi terhadap pemeriksaan, melainkan akan memilih jalur dengan cara mengklaim PPN lebih bayar secara bertahap melalui pengkreditan PPN lebih bayar hingga jumlahnya mencapai Rp10 miliar.

Disinilah pembuktian bahwa, Akutansi merupakan benteng pertahanan wajib pajak dalam menghadapi pemeriksaan pajak. Dalam kasus ini, bilamana laporan keuangan yang dimiliki oleh PT XYZ reliable dan akuntabel, pasti Direktur Keuangan PT XYZ tidak ragu sedikitpun untuk melakukan restitusi PPN lebih bayar yang berimplikasi adanya pemeriksaan. Karena dengan bekal penerapan standar akuntansi yang benar, Direktur Keuangan akan berani fight mempertahakan kebenaran yang disajikan dalam laporan keuangan.

Kesimpulan: Akuntansi dan Pajak Harus Terintegrasi

Setiap pencatatan dalam pembukuan perusahaan memiliki dampak hukum dan harus dipertanggungjawabkan secara akurat. Oleh karena itu, akuntansi tidak dapat dianggap sebagai sekadar proses administrasi pencatatan transaksi yang bisa dimanipulasi sesuka hati anda.

Perusahaan harus memastikan bahwa individu yang bertanggung jawab dalam bidang akuntansi harus memiliki kompetensi teknis tinggi dan professional serta mampu mengintegrasikan aspek akuntansi dan perpajakan dalam laporan keuangan dan SPT Pajak.

Dampak Rendahnya Literasi Akuntansi terhadap Kepatuhan Pajak

Minimnya pemahaman akuntansi dapat mengakibatkan:

1. Kesalahan dalam penyusunan laporan keuangan, yang berujung pada ketidaksesuaian dengan SPT pajak.

2. Lemahnya posisi wajib pajak saat pemeriksaan, sehingga lebih mudah menerima koreksi pajak yang berpotensi merugikan.

3. Kurangnya kontrol terhadap aspek krusial yang memastikan laporan keuangan sesuai dengan regulasi dan standar akuntansi.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

 

en_US