IKPI, Jakarta: Ekonom mengkhawatirkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Mereka khawatir itu akan menimbulkan permasalahan.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan kebijakan tersebut akan membebani masyarakat terutama kelas menengah. Pasalnya kenaikan tarif PPN bisa lebih tinggi dari kenaikan upah.
“Jadi bisa dibayangkan mencari kerja sekarang sulit, persaingan semakin ketat, kenaikan upah minimum juga tidak seberapa. Tapi dari sisi kebijakan pemerintah justru menahan daya beli dan mengurangi konsumsi rumah tangga,” katanya seperti dikutip dari CNNIndonesia, Kamis (14/3/2024).
Bhima mengatakan karena kenaikan PPN itu, kelas menengah tidak hanya bisa mengurangi belanja, tetapi juga terpaksa menggunakan tabungan karena harga barang yang mereka beli akan semakin mahal.
“Kalau sudah tidak ada lagi yang ditabung tapi tetap harus membeli barang, maka dikhawatirkan dia akan turun menjadi orang miskin baru atau di bawah garis kemiskinan,” katanya.
Pemerintah bakal menaikkan tarif PPN jadi 12 persen pada 2025. Kenaikan PPN sejalan dengan pelaksanaan UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Dalam beleid itu pemerintah dan DPR menetapkan PPN naik jadi 11 persen mulai 2022 dan menjadi 12 persen mulai 2025.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto memastikan PPN bakal tetap naik menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 meski presiden berganti.
Menurutnya, hal ini dikarenakan Prabowo-Gibran yang unggul dalam Pilpres 2024 ini akan melanjutkan program Presiden Joko Widodo (Jokowi) termasuk dalam urusan perpajakan. (bl)