IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah menyusun aturan baru untuk menyesuaikan kebijakan perpajakan atas transaksi aset kripto. Perubahan ini seiring dengan pergeseran status kripto dari yang semula dikategorikan sebagai komoditas, kini diarahkan menjadi instrumen keuangan.
“Dulu kami atur kripto itu sebagai bagian dari komoditas. Sekarang, ketika dia beralih kepada financial instrument, maka aturannya juga harus kita sesuaikan,” ujar Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto kepada wartawan, Selasa (22/7/2025).
Meski demikian, Bimo belum mengungkap detail teknis perubahan aturan tersebut, termasuk skema perpajakan dan besaran tarif yang akan diterapkan nantinya.
Saat ini, dasar hukum perpajakan aset kripto mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 68 Tahun 2022. Dalam regulasi itu, kripto dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) karena dianggap sebagai penghasilan tambahan wajib pajak, baik dari dalam maupun luar negeri.
Tarif Pajak Kripto Saat Ini
Dalam aturan yang masih berlaku, besaran pajak untuk transaksi kripto ditentukan oleh jenis penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE). Berikut rinciannya:
PPN sebesar 1% dari tarif PPN dikalikan nilai transaksi, apabila PMSE merupakan pedagang fisik aset kripto.
PPN sebesar 2% dari tarif PPN dikalikan nilai transaksi, apabila PMSE bukan pedagang fisik.
PPN dipungut dalam berbagai skenario, seperti saat pembeli membayar kripto ke PMSE, melakukan tukar-menukar aset kripto, atau memindahkan aset ke akun lain untuk transaksi non-kripto. Selanjutnya, PMSE wajib melaporkan pemungutan PPN melalui SPT Masa PPN 1107 PUT.
Sementara itu, untuk PPh Pasal 22, tarifnya dibedakan berdasarkan status izin PMSE:
0,1% dari nilai transaksi (tidak termasuk PPN dan PPnBM), jika PMSE telah mendapat izin pemerintah untuk menjual kripto.
0,2% dari nilai transaksi, jika belum mendapat izin.
Penghasilan yang menjadi objek PPh tak hanya berasal dari penjualan aset, tapi juga aktivitas penambangan kripto.
Perubahan pendekatan pajak atas aset kripto ini mencerminkan upaya DJP menyesuaikan regulasi dengan dinamika pasar dan karakteristik aset digital. Status kripto sebagai instrumen keuangan membuka kemungkinan integrasi lebih luas ke dalam kerangka keuangan nasional dan internasional.
Namun, pengamat menilai reformasi ini harus dilakukan secara hati-hati, dengan memperhatikan aspek kejelasan hukum, daya saing industri kripto, serta efektivitas pengawasan transaksi digital lintas negara.
Dengan rencana ini, pelaku pasar dan penyelenggara platform perdagangan kripto diimbau untuk bersiap terhadap potensi penyesuaian kewajiban perpajakan mereka dalam waktu dekat. (alf)