Disparitas Harga Jual: Akar Rendahnya Kepatuhan PPN di Daerah Non-Perkotaan

Pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah kewajiban formal yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009. Setiap Pengusaha Kena Pajak (PKP) wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP jika omzetnya telah memenuhi ambang batas tahunan, serta memungut, menyetorkan, dan melaporkan PPN yang terutang melalui SPT Masa PPN. Mereka juga harus menerbitkan faktur pajak untuk setiap transaksi barang atau jasa kena pajak. Namun, di banyak wilayah non-perkotaan, tingkat kepatuhan atas kewajiban ini masih jauh dari ideal.

Masalah ini tidak selalu berpangkal pada sikap pengusaha yang enggan patuh hukum. Sebaliknya, realitas lapangan menunjukkan bahwa faktor ekonomi, terutama disparitas harga jual antara PKP dan Non-PKP, menjadi pemicu utama rendahnya kepatuhan terhadap aturan PPN.

Disparitas Harga dan Strategi Bertahan PKP

Persaingan antara pengusaha PKP dan Non-PKP menciptakan medan usaha yang tidak setara. Ambil contoh produk “ABC”. Ketika PKP membeli barang ini dari supplier, ia dipungut PPN. Maka, ketika menjual kembali, PKP harus membebankan PPN 12% kepada pembelinya. Di sisi lain, pengusaha Non-PKP bisa membeli “ABC” dari pasar gelap tanpa dipungut PPN, dan menjualnya juga tanpa pungutan PPN. Ini menciptakan selisih harga jual yang mencolok di mata konsumen.

Kondisi ini membuat pengusaha PKP berada dalam posisi yang sulit. Demi bertahan, mereka meniru strategi pesaing, melakukan segmentasi pasar. Untuk pasar formal, mereka memungut PPN sesuai aturan.

Namun untuk pasar informal yang jumlahnya tidak sedikit di daerah non-perkotaan transaksi dilakukan tanpa pemungutan PPN, dan bahkan tidak dilaporkan dalam SPT.

Dampak Sistemik Disparitas Harga

Disparitas harga akibat PPN tidak hanya memengaruhi strategi bisnis, tetapi berdampak luas pada perekonomian:
• Kenaikan tarif PPN menaikkan harga barang dan jasa secara menyeluruh. Karena tarif PPN bersifat flat tanpa membedakan daya beli konsumen, maka saat tarif dinaikkan, masyarakat lapisan bawah turut menanggung beban yang sama.
• Kenaikan PPN mendorong inflasi dan menurunkan daya beli. Peningkatan harga secara kolektif akibat kenaikan tarif PPN menurunkan nilai riil uang masyarakat, yang ujungnya bisa menekan laju pertumbuhan ekonomi.
• Perbedaan biaya distribusi memperparah ketimpangan harga. Di daerah terpencil dengan logistik mahal, harga barang sudah tinggi sebelum dikenai PPN. Tambahan PPN hanya membuat harga makin tak terjangkau bagi konsumen lokal.

Studi Kasus: Pedagang Kanvasing di Sumatera Utara

Fenomena ini sangat nyata di lapangan. Di daerah pedalaman Sumatera Utara, banyak pengusaha kanvasing yang menjual ke petani sawit, karet, dan peternak lokal dengan omzet di atas Rp4,8 miliar per tahun. Namun mereka enggan mendaftar sebagai PKP karena khawatir kehilangan pembeli akibat kewajiban memungut PPN.

Jika pun mereka sudah menjadi PKP, strategi yang umum dipakai adalah memisahkan transaksi menjadi dua:
a) penjualan ke perusahaan atau instansi pemerintah dikenai PPN, dan
b) penjualan ke konsumen umum tidak dikenakan PPN dan tidak dilaporkan.
Lebih ironis lagi, strategi ini didukung oleh ketersediaan supplier yang juga menghindari pemungutan PPN. Ini membentuk ekosistem yang justru mendorong penghindaran pajak, bukan kepatuhan.

Ketidakseimbangan Beban dan Minimnya Insentif

Menjadi PKP sebenarnya menambah beban administratif tanpa imbal balik yang sebanding. Kewajiban pelaporan, pembayaran, dan pemungutan PPN ditanggung sendiri oleh PKP. Sementara pengusaha Non-PKP dapat menjual barang dan jasa dengan harga yang lebih rendah tanpa beban tambahan.

Tanpa insentif finansial atau akses khusus yang membuat status PKP menarik, banyak pengusaha lebih memilih tetap berada di luar sistem perpajakan formal.

Solusi: Mengedepankan Pendekatan Budaya dan Insentif

Jika pemerintah ingin meningkatkan kepatuhan PPN di daerah, terutama non-perkotaan, maka strategi yang hanya berorientasi pada penegakan hukum tidak akan cukup. Berikut adalah pendekatan solutif yang lebih kontekstual:
• Pemberian Insentif Finansial. Akses permodalan dengan bunga rendah atau subsidi khusus bagi PKP dapat mendorong mereka untuk masuk dan bertahan dalam sistem perpajakan formal.
• Edukasi Pajak Intensif. Literasi perpajakan di kalangan pengusaha kecil-menengah di daerah masih rendah. Program edukasi terpadu perlu digencarkan agar mereka memahami manfaat jangka panjang menjadi PKP.
• Adaptasi Kebijakan Pajak. Regulasi pajak sebaiknya menyesuaikan dengan kondisi geografis, ekonomi, dan sosial daerah tertentu agar lebih bisa diterima secara sukarela.
• Membangun Ekosistem Kolaboratif. Pemerintah pusat dan daerah, lembaga pembiayaan, serta instansi perdagangan perlu bersinergi. Contohnya, pengusaha yang sudah terdaftar sebagai PKP dapat diberi prioritas dalam akses ke pembiayaan dan program distribusi produk.

Kesimpulan

Rendahnya kepatuhan PPN di daerah non-perkotaan bukanlah semata soal pelanggaran hukum, melainkan refleksi dari ketimpangan struktur pasar dan kurangnya insentif bagi pelaku usaha. Jika negara ingin meningkatkan tax ratio secara berkelanjutan, maka perbaikan sistem perpajakan harus menyentuh akar permasalahan: ekonomi mikro daerah.
Dengan pendekatan yang inklusif, insentif yang konkret, dan kebijakan yang adaptif, maka kepatuhan PPN bisa ditingkatkan secara alami tanpa perlu mengandalkan ancaman atau paksaan semata.

Penulis adalah anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Dr. Subur Harahap, SE, Ak, MM, CA, CMA, CFP, CPA, BKP, FPM, MT.BNSP

Email: www.suhaconsulting.com

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID