IKPI, Jakarta: Dalam sesi lanjutan Diskusi Panel IKPI yang berlangsung pada Jumat (28/11/2025), jurnalis Kontan Dendi Siswanto kembali menarik perhatian audiens dengan analisis kritis mengenai arah kebijakan fiskal pemerintah, terutama terkait wacana Tax Amnesty Jilid III dan rencana pemberian insentif pajak 0% bagi Family Office.
Menurut Dendi, wacana Tax Amnesty lanjutan adalah kebijakan yang berpotensi menjadi “karpet merah bagi wajib pajak kaya yang tidak patuh.” Ia menilai, pemberian pengampunan pajak berulang kali dapat menciptakan moral hazard, di mana konglomerat justru merasa aman untuk menyembunyikan harta karena yakin pada akhirnya pengampunan baru akan diberikan.
“Ini bukan sekadar kekhawatiran. Pak Purbaya sendiri sudah menolak rencana Tax Amnesty Jilid III karena berpotensi mendorong ketidakpatuhan,” tegasnya.
Selain itu, Dendi menyoroti rencana pembentukan Family Office yang disebut-sebut bakal menawarkan insentif pajak 0%. Hingga kini, pemerintah belum menjelaskan detail kebijakan itu, namun rencana tersebut sudah memunculkan diskusi luas di publik.
Menurut Dendi, kebijakan ini berpotensi menciptakan ketimpangan karena memberi fasilitas super ringan kepada kelompok kaya, sementara kelas menengah tetap menanggung beban pajak yang besar.
“Kelas menengah bayar PPh 21, bayar PPN saat belanja, bahkan bayar pajak UMKM jika punya usaha. Beban mereka jelas lebih besar, tetapi insentif yang diterima justru jauh lebih kecil,” ujarnya.
Dendi menilai kondisi itu semakin memperkuat narasi bahwa sistem perpajakan Indonesia belum sepenuhnya mencerminkan asas keadilan. Di sisi lain, ia mengakui bahwa family office sebenarnya dapat memberikan manfaat kompetitif bagi Indonesia, seperti yang sudah diterapkan Singapura. Namun, ia menekankan pentingnya merancang struktur pajak yang tetap adil.
Dalam paparannya, Dendi mengutip rekomendasi dari ASEAN+3 Macroeconomic Research Office (AMRO) yang mengusulkan penambahan lapisan tarif PPh untuk kelompok super kaya. Saat ini tarif pajak orang pribadi berada pada dua bracket tertinggi: 30% untuk penghasilan Rp500 juta–Rp5 miliar dan 35% untuk penghasilan di atas Rp5 miliar.
AMRO menilai selisih kedua lapisan ini terlalu lebar. Oleh karena itu, Dendi menyampaikan usulan menambah bracket baru untuk penghasilan mulai dari Rp10 miliar hingga Rp20 miliar, dengan tarif yang lebih progresif.
“Menambah bracket jauh lebih baik daripada menaikkan tarif konsumsi seperti PPN. Struktur pajak yang lebih progresif akan memperkuat keadilan fiskal dan meningkatkan kontribusi kelompok berpenghasilan tinggi,” jelasnya.
Sebagai penutup, Dendi menggarisbawahi bahwa sejumlah kebijakan pemerintah belakangan ini mulai dari rencana Tax Amnesty hingga insentif Family Office berpotensi memperlebar jurang kepercayaan publik terhadap otoritas pajak. Ia mendorong pemerintah untuk fokus pada peningkatan pengawasan, pemanfaatan teknologi seperti Cortex dan integrasi NIK–NPWP, serta perluasan basis wajib pajak kaya yang betul-betul masuk ke tarif 35%.
“Data menunjukkan kesenjangan pajak semakin melebar. Jika tidak segera diatasi, keadilan pajak hanya akan jadi slogan,” tegasnya. (bl)
