Desakan Kenaikan PTKP Meningkat, Pemerintah Diminta Respons Cepat untuk Jaga Daya Beli Rakyat

Foto ilustrasi (Istimewa)

IKPI, Jakarta: Usulan untuk menaikkan ambang batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 4,5 juta menjadi Rp 10 juta per bulan kembali mencuat ke permukaan. Kali ini, dorongan datang tidak hanya dari kalangan buruh, tetapi juga pengusaha dan analis kebijakan fiskal. Mereka menilai kebijakan ini menjadi krusial di tengah perlambatan ekonomi dan meningkatnya tekanan biaya hidup.

Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, menyebut bahwa revisi PTKP mendesak untuk segera dilakukan. Menurutnya, PTKP yang tidak berubah sejak 2016 sudah tidak lagi mencerminkan realitas ekonomi masyarakat saat ini.

“Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, semakin tergerus. Rp 4,5 juta hari ini tidak lagi memiliki nilai yang sama seperti delapan tahun lalu,” ujar Badiul, Minggu (18/5/2025).

Badiul mengingatkan bahwa kelas menengah merupakan tulang punggung perekonomian nasional, baik sebagai tenaga kerja produktif maupun konsumen utama sektor barang dan jasa. Jika penghasilan mereka terus tergerus pajak tanpa penyesuaian yang adil, dampaknya bisa meluas ke berbagai sektor.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk kelas menengah di Indonesia menyusut drastis dalam lima tahun terakhir. Dari 57,33 juta orang pada 2019, turun menjadi hanya 47,85 juta pada 2024. Penurunan ini menjadi sinyal serius bahwa daya beli dan kualitas hidup masyarakat mengalami penurunan.

Ia menyarankan agar pemerintah tidak harus langsung menaikkan PTKP ke Rp 10 juta, namun bisa dilakukan secara bertahap—misalnya ke Rp 5 juta atau Rp 7 juta terlebih dahulu—sembari mengkaji dampak fiskalnya.

Namun ia menekankan, revisi PTKP tidak boleh menjadi langkah tunggal. “Kenaikan ini harus diiringi dengan reformasi perpajakan yang menyeluruh, termasuk memperluas basis pajak, meningkatkan kepatuhan dari kelompok atas dan korporasi, serta menata ulang insentif perpajakan agar lebih tepat sasaran,” paparnya.

Meskipun usulan ini dinilai mendesak, pemerintah tampak masih berhati-hati. Salah satu kekhawatiran adalah potensi berkurangnya penerimaan dari Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi, yang selama ini menjadi sumber utama pendanaan berbagai program prioritas pemerintah.

“Pemerintah mungkin masih mengandalkan penerimaan PPh untuk menopang belanja subsidi dan pembangunan infrastruktur. Itu sebabnya mereka belum memberikan sinyal jelas terhadap usulan ini,” kata Badiul.

Ia menegaskan bahwa kebijakan fiskal harus diarahkan tidak hanya untuk menjaga pendapatan negara, tetapi juga menjaga stabilitas ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, penyesuaian PTKP harus disinergikan dengan kebijakan lain, seperti perlindungan sosial dan dukungan bagi sektor produktif.

“Langkah ini bukan semata keringanan pajak, tetapi bagian dari strategi untuk menstimulasi konsumsi dan memperkuat fondasi ekonomi domestik,” katanya. (alf)

 

id_ID