CORE: Tarif Perdagangan 19% ala Trump Bakal Gerus Ekspor Indonesia hingga US$ 9,23 Miliar

IKPI, Jakarta: Kebijakan tarif perdagangan resiprokal sebesar 19% yang resmi diberlakukan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap Indonesia sejak 7 Agustus 2025 diprediksi akan menjadi pukulan berat bagi perekonomian nasional.

Lembaga riset ekonomi Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia dalam laporan terbarunya berjudul “Biaya Mahal Negosiasi Tarif” menilai, meski tarif tersebut telah turun dari level awal 32%, dampak negatifnya terhadap Indonesia tetap signifikan. “Detail kesepakatan yang diumumkan Gedung Putih justru menunjukkan biaya negosiasi yang sangat mahal bagi Indonesia,” tulis tim ekonom CORE, Senin (11/8/2025).

Menurut kajian tersebut, setidaknya ada tiga kerugian besar yang akan dihadapi Indonesia:

1. Penyusutan nilai ekspor ke AS hingga US$ 9,23 miliar akibat kenaikan bea masuk.

2. Kewajiban menghapus 99% tarif untuk produk asal AS yang masuk ke pasar Indonesia serta pelonggaran hambatan non-tarif, yang berpotensi melemahkan industri manufaktur dalam negeri.

3. Ketimpangan komitmen dagang yang dapat merugikan pelaku industri lokal dalam jangka panjang.

CORE memperkirakan, penerapan tarif ini akan memangkas kesejahteraan nasional sebesar US$ 3,16 miliar, terutama karena penurunan konsumsi ekspor Indonesia di pasar AS yang berimbas langsung pada surplus produsen, khususnya di sektor-sektor unggulan.

Kajian CORE menjelaskan, tarif resiprokal merupakan pungutan tambahan di luar bea masuk, seperti pajak dan biaya lain, yang dikenakan lebih tinggi pada barang dari negara tertentu. Misalnya, produk alas kaki (HS: 64) asal Indonesia yang sudah terkena bea masuk 12% kini ditambah tarif resiprokal 19%, sehingga totalnya melonjak menjadi 31%.

Meski tarif tersebut setara dengan yang dikenakan pada Filipina dan Malaysia, potensi beban ekstra mengintai. Sebagai anggota penuh BRICS, Indonesia berisiko terkena tambahan tarif 10%. Jika itu terjadi, tarif alas kaki Indonesia akan membengkak hingga 41%, sementara produk elektronik bisa mencapai 29% — jauh di atas Vietnam (21%), Malaysia (20%), dan Filipina (19%).

Kendati tanpa tambahan tarif BRICS sekalipun, CORE menilai daya saing ekspor Indonesia sudah kalah di hadapan Vietnam, Malaysia, dan Filipina. Penyebabnya: biaya logistik domestik yang tinggi, mencapai 23,5% dari PDB, dibanding Vietnam (16,8%), Filipina (13%), dan Malaysia (13%).

Data Logistics Performance Index (LPI) menunjukkan skor Indonesia hanya 3,0, tertinggal dari Malaysia (3,6), Vietnam (3,3), dan Filipina (3,3). Skor International Shipments (ISS) Indonesia pun rendah di angka 3,0, di bawah Malaysia (3,7), Vietnam (3,3), dan Filipina (3,1). Semakin rendah skor ini, semakin mahal ongkos kirim barang ke pasar internasional.

Efek Domino di AS

CORE juga memprediksi tarif resiprokal ini akan memicu inflasi sekitar 7% di AS. Lonjakan harga tersebut akan menekan daya beli konsumen Negeri Paman Sam, sehingga permintaan terhadap produk-produk sekunder seperti garmen, pakaian, dan alas kaki yang menjadi komoditas ekspor utama Indonesia akan ikut melemah.

“Dampak dari sisi permintaan akan memperparah penurunan kinerja ekspor Indonesia. Ini bukan hanya soal tarif, tapi juga soal daya serap pasar yang menurun,” tulis tim ekonom CORE dalam laporan tersebut. (alf)

 

 

 

 

id_ID