IKPI, Jakarta: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terus memperkuat transformasi digital kepabeanan sebagai upaya meningkatkan pengawasan sekaligus mempercepat layanan arus barang. Langkah ini ditegaskan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Letjen (Purn) Djaka Budhi Utama dalam Seminar Nasional Outlook Kepabeanan 2026 yang digelar Perhimpunan Ahli Kepabeanan Indonesia (PERAKI) di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Bea Cukai, Jakarta, Kamis (18/12/2025).
Djaka menyampaikan, penguatan teknologi menjadi fondasi penting dalam menjawab tantangan perdagangan global yang kian kompleks. Salah satu terobosan utama adalah pengoperasian alat pemindai peti kemas X-Ray yang dilengkapi Radiation Portal Monitor (RPM) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara.
Teknologi RPM tersebut dikembangkan oleh Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan memungkinkan petugas Bea Cukai mendeteksi isi kontainer sekaligus potensi kandungan radiasi tanpa harus membuka peti kemas. Menurut Djaka, sistem ini membuat proses pemeriksaan menjadi lebih cepat, akurat, dan aman.
“Dengan pemindai ini, keamanan meningkat, layanan menjadi lebih singkat, dan potensi pelanggaran dapat ditekan sejak dini,” ujar Djaka menegaskan manfaat langsung teknologi tersebut bagi dunia usaha dan negara.
Selain pemindai kontainer, Bea Cukai juga mengembangkan layanan digital Trade AI, sebuah aplikasi internal yang dirancang untuk meningkatkan ketepatan analisis impor. Sistem ini mampu mendeteksi lebih awal praktik under-invoicing, over-invoicing, hingga indikasi pencucian uang berbasis perdagangan.
Tak hanya itu, Bea Cukai memperkenalkan Self Service Report Mobile (SSR-Mobile), yakni fitur pelaporan mandiri yang dilengkapi teknologi geotagging, pencatatan real-time, serta integrasi kecerdasan artifisial untuk memantau aktivitas pemasukan dan pengeluaran barang di kawasan fasilitas kepabeanan.
Djaka mengungkapkan, alat pemindai RPM tidak hanya terpasang di Tanjung Priok, tetapi juga telah dioperasikan di Surabaya, Semarang, dan Medan. Sementara itu, pengembangan sistem Trade AI membutuhkan investasi teknologi informasi sekitar Rp45 miliar.
Menurut Djaka, apabila setiap pelabuhan utama dilengkapi dengan sistem pemindai dan analitik digital tersebut, ruang gerak aktivitas impor dan ekspor ilegal akan semakin menyempit. Ia menekankan bahwa transformasi digital di bidang kepabeanan bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan strategis.
“Kita harus menjaga kepercayaan publik, menjaga daya saing ekonomi nasional, dan memerangi penyelundupan dengan pendekatan yang lebih modern dan berbasis teknologi,” pungkas Djaka. (bl)
