ALOKASI JOINT COST UNTUK MENENTUKAN PENGHASILAN KENA PAJAK

(Foto: DOK. Pribadi)

Besarnya penghasilan kena pajak ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 UU PPh. Selain hal-hal yang tidak boleh dikurangkan menurut Pasal 9 UU PPh. Dalam hal ini berlaku prinsip seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 6 ayat(1) huruf a UU PPh yaitu bahwa untuk dapat dibebankansebagai biaya, pengeluaran tersebut harus mempunyaihubungan langsung dengan dengan kegiatan usaha ataukegiatan  untuk mendapatkan, menagih dan memeliharapenghasilan yang merupakan obyek pajak.

Dengan demikian atas biaya dari kegiatan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang bukan merupakan obyek pajaktidak dapat dibebankan sebagai biaya.    

Lebih lanjut, Pasal 13 PP No.94 Tahun 2010 juga mengatur bahwa biaya untukmendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang pengenaan pajaknya bersifat final dan/atau dikenakan pajak berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 UU PPh dan Norma Penghitungan Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 UU PPh tidak boleh dikurangkan. 

Aturan-aturan tersebut logis diterapkan, mengingat biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilanyang bukan obyek pajak tidak relevan untuk diperhitungkan, sedangkan bagi penghasilan yang dikenakan pajak final dan penghasilan yang pemajakannya menggunakan Norma sudah memperhitungkan unsur biaya sehingga menjadi berlebihan apabila tidak diatur seperti ini.

Dalam praktik terdapat kemungkinan suatu Wajib Pajak mempunyai lebih dari satu jenis penghasilan, yaitu penghasilan yang merupakan obyek pajak, dan penghasilanyang bukan merupakan obyek pajak, penghasilan yang dikenakan pajak final, serta yang dikenakan pajak menggunakan Norma. Bagi Wajib Pajak yang bersangkutandituntut untuk dapat mengalokasikan biaya mana saja yang terkait dengan jenis-jenis penghasilan tersebut.

Ketika Wajib Pajak dapat mengalokasikannya, maka Wajib Pajak tersebut tinggal menerapkan bahwa atas biaya yang berkaitan denganpenghasilan yang merupakan obyek pajak dapat dibebankansebagai biaya. Sebaliknya, atas biaya yang berkaitan denganpenghasilan yang bukan obyek pajak, dikenakan pajak final atau dikenakan pajak berdasarkan Norma tidak dapatdibebankan. Namun demikian, untuk dapat melakukan haltersebut, Pasal 27 PP No.94 Tahun 2010 mengharuskan Wajib Pajak menyelenggarakan pembukuan secara terpisah. 

Merujuk kepada pengertian pembukuan dalam UU KUP, melakukan pembukuan secara terpisah berarti Wajib Pajak yang bersangkutan harus membuat suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan denganmenyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan labarugi untuk suatu periode.

Hal ini berarti, Wajib Pajak yang bersangkutan harus mempunyai lebih dari satu laporan keuangan yang mana khusus untuk penghasilan yang bukanobyek pajak/kena pajak final/kena pajak berdasarkan norma mempunyai laporan keuangan tersendiri, di samping laporan keuangan atas penghasilan yang merupakan obyek pajak.   

Namun demikian, Penjelasan Pasal 27 PP No.94 tahun2010 hanya menegaskan bahwa Pembukuan secara terpisahmerupakan proses pencatatan yang dilakukan secara teraturdengan melakukan pemisahan pencatatan untuk setiaptransaksi, penghasilan dan biaya-biaya antara kegiatan usahayang dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif sebagaimanadimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilandengan kegiatan usaha yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final maupun atas penerimaan penghasilan bruto yang merupakan objek pajak dan yang bukan merupakan objekpajak, serta penghasilan dan biaya-biaya dari usaha yang tidakmendapatkan fasilitas perpajakan dan yang mendapatkanfasilitas perpajakan sebagaimana diatur dalam Pasal 31A Undang-Undang Pajak Penghasilan.

Contoh:  PT A bergerak di bidang industri pengalengan ikan yang berkedudukan di Jakarta mempunyai aset berupa gudang dan mesin pengolahan di Papua dalam rangka pengembangankegiatan dan produksi perusahaan.

Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 62 Tahun 2008, atas industri pengalenganikan dan biota perairan lainnya di daerah Papua dapatdiberikan fasilitas Pajak Penghasilan.

Salah satu bentuk fasilitas Pajak Penghasilan yang dimaksudadalah penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. Dalam hal ini, pencatatan secara terpisah harus dilakukan untuk biaya penyusutan atas aset dalam rangka usaha yang mendapatkan fasilitas perpajakan (di Papua) dan yang tidakmendapatkan fasilitas perpajakan (di Jakarta).

Persoalan muncul ketika Wajib Pajak tidak dapat mengalokasikan biaya bersama (joint cost) melaluipembukuan terpisah. Biaya bersama  adalah pengeluaran ataubiaya yang berhubungan langsung dengan kegiatan untukmendapatkan, menagih, dan memelihara suatu penghasilandan sekaligus berhubungan langsung dengan kegiatan untukmendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan lainnya. Biaya-biaya bersama yang menjadi dasar alokasi pembebanan dalam rangka menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah biaya bersama setelah dilakukan penyesuaian/koreksi fiskal. Untuk mengatasi persoalan ini Pasal 27 ayat (2) PP No.94 Tahun 2010 mengatur bahwa alokasi dilakukan secara proporsional berdasarkan jumlah penghasilan masing-masing.

Contoh: PT A bergerak dalam bidang usaha yang penghasilannyadikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final. Dalam suatu tahun pajak, PT A memperoleh penghasilan bruto yang terdiri dari: 

a. penghasilan dari usaha yang telah dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat final ………………………Rp 300.000.000,00

b. penghasilan bruto lainnya yang dikenakan Pajak Penghasilan yang bersifat tidak final ………………………Rp 200.000.000,00

Jumlah penghasilan bruto Rp 500.000.000,00

Apabila biaya-biaya bersama yang tidak dapat dipisahkansetelah dilakukan penyesuaian fiskal adalah sebesar Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah), maka biaya yang boleh dikurangkan untuk mendapatkan, menagihdan memelihara penghasilan adalah sebesar: 2/5 x Rp250.000.000,00 = Rp 100.000.000,00

Jika dicermati, sesungguhnya aturan alokasi biaya bersama secara proporsional menarik untuk diperhatikan. Penerapanaturan tersebut hendaknya disesuaikan dengan fakta jenispenghasilannya. Penghasilan yang bukan obyek pajak atau penghasilan yang dikenakan pajak final faktanya tidak selalu dihasilkan dari adanya kegiatan atau aktivitas. Penghasilanbunga bank atau bunga deposito yang dikenakan pajak final tentu tidak berasal dari adanya kegiatan pemilik tabungan ataudeposito. Dengan kata lain, tidak ada biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan penghasilan bunga deposito atau bunga tabungan.

Oleh karena itu jika Wajib Pajak mendapatkan penghasilan bunga tabungan/deposito selain penghasilan yang merupakan obyek pajak, maka Wajib Pajak tersebut tidak perlu melakukan pembukuan terpisah atau menghitung pajak terutang dengan mengoreksi seluruh biaya berdasarkan proporsionalitas penghasilan masing-masing. Demikian pula, tidak diperlakukannya proporsionalitas biaya seharusnya juga diterapkan apabila Wajib Pajak selain mendapatkanpenghasilan yang merupakan obyek pajak, juga mendapatkan penghasilan berupa dividen yang bukan merupakan obyek pajak.

Pada umumnya penghasilan dividen tidak diperoleh dari adanya kegiatan usaha, sebab dividen merupakan passive income (tidak memerlukan kegiatan). 

    Namun demikian, dalam hal bunga deposito/tabungan atau dividen diperoleh dari simpanan atau investasi yang berasal dari pinjaman, maka atas bunga pinjamannya seharusnya tidakboleh dibiayakan. Berdasarkan pemahaman inilah maka dahulu pernah ada aturan berdasarkan SE-46/PJ.4/1995 tentang perlakuan biaya bunga yang dibayar atau terutang dalam hal wajib pajak menerima atau memperoleh penghasilan berupa bunga deposito atau tabungan lainnya. Aturan tersebut membatasi biaya bunga berdasarkanproposionalitas pinjaman dan tabungan/depoito. 

Demikianlah, uraian mengenai alokasi biaya bersamadalam hal Wajib Pajak mendapatkan penghasilan yang merupakan obyek pajak dan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan.

Intinya, kemampuan untuk menentukan ada atau tidaknya biaya terkait penghasilan penghasilan yang dikenakan pajak final, penghasilan bukan obyek pajak, penghasilan dikenakan pajak berdasarkan Norma, atau penghasilan yang mendapat fasilitas perpajakan merupakan kunci alokasi biaya. Tanpa kemampuan tersebut, maka alokasi biaya akan salah arah yang tentu berakibat pada salah penghitungan pajak.

Penulis adalah Anggota IKPI Cabang Kota Bekasi

Bambang Pratiknyo

Disclaimer: Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis

id_ID