Saat Algoritma Menggantikan Intuisi Fiskal: Menguji Peran Manusia di Tengah Otomatisasi Pengawasan Pajak

Negara modern sedang berubah cara kerjanya. Jika dulu pajak dijalankan melalui kombinasi intuisi fiskal, pengalaman manusia, dan dokumen fisik, kini ia bergerak ke wilayah yang lebih sunyi namun lebih menentukan: algoritma. Melalui rezim baru pengawasan berbasis data konkret, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menandai fase penting dalam modernisasi administrasi fiskal Indonesia, fase ketika mesin bukan lagi pendukung, melainkan aktor utama dalam menentukan arah penegakan kepatuhan.

Perubahan ini sering disambut dengan optimisme teknokratis: pajak menjadi lebih presisi, lebih objektif, lebih sulit dimanipulasi. Namun di balik itu, muncul pertanyaan mendasar yang jarang dibicarakan di ruang publik: apa yang terjadi pada intuisi, diskresi, dan etika fiskal ketika logika mesin menjadi poros utama?

1. Negara Algoritmik dan Ilusi Objektivitas

Dengan pendekatan data konkret, negara tidak lagi menunggu klarifikasi wajib pajak. Ia mulai dari data: faktur pajak yang sudah disetujui sistem tetapi belum dilaporkan, bukti potong yang tidak tercermin dalam SPT, atau transaksi tertentu yang menurut sistem memenuhi kriteria uji sederhana dan dapat langsung ditindaklanjuti.

Secara administratif, pendekatan ini efektif. 

Negara dapat memetakan potensi ketidakpatuhan lebih cepat, lebih luas, dan relatif lebih efisien. Namun, di sinilah paradoks muncul. Ketika analisis berbasis algoritma dianggap netral dan objektif, publik sering lupa bahwa algoritma tidak pernah benar-benar netral. Ia dibangun dari desain, asumsi, dan parameter yang disusun manusia.

Dalam konteks fiskal, desain data mencerminkan cara negara memandang risiko. Sistem membaca realitas melalui kategori yang telah ditentukan: mana yang dianggap anomali, mana yang masuk high risk, mana yang perlu segera ditindaklanjuti. Padahal, realitas bisnis tidak selalu tunduk pada pola linear yang dapat ditangkap oleh model statistik.

Bahaya terbesarnya bukan pada kesalahan teknis semata, melainkan pada ilusi objektivitas. Ketika hasil analisis sistem dianggap “pasti benar”, ruang koreksi manusia justru menyempit. Fiskus berpotensi lebih tunduk pada layar komputer daripada pada nalar profesionalnya sendiri. Wajib pajak, di sisi lain, merasa berhadapan dengan putusan mesin, bukan ruang dialog administratif.

Jika tidak dikawal dengan prinsip kehati-hatian, negara algoritmik berisiko menjelma menjadi negara yang efisien tetapi miskin empati. Dan keadilan fiskal tidak bisa diukur semata dari kecepatan notifikasi atau jumlah data yang dikoreksi.

2. Reposisi Konsultan Pajak: Dari Intuisi ke Interpretasi Sistem

Perubahan ini paling nyata terasa oleh profesi konsultan pajak. Selama ini, profesi ini berdiri di antara dunia usaha dan negara menerjemahkan regulasi ke praktik bisnis, dan kepentingan bisnis ke dalam bahasa fiskal. Nilai tambah utama mereka bukan sekadar hafal pasal, tetapi kemampuan membaca konteks, risiko, dan implikasi strategis.

Namun di era algoritmik, intuisi profesional menghadapi kompetitor baru: sistem prediktif DJP.

Jika dulu konsultan diminta menyusun strategi kepatuhan, kini mereka dituntut memahami bagaimana sistem memersepsikan kepatuhan itu sendiri. Mereka harus memahami bagaimana data klien diolah, dikaitkan, dan diberi skor risiko oleh mesin. 

Profesi ini bergeser dari sekadar “penasihat pajak” menjadi penerjemah logika algoritmik negara ke dalam bahasa bisnis klien.

Perubahan ini menghadirkan dua kemungkinan. Pertama, profesi konsultan pajak naik kelas: lebih berbasis data, lebih strategis, lebih sistemik. 

Kedua, jika gagal beradaptasi, mereka terancam tergerus oleh otomatisasi. Klien bisa saja bertanya: “Jika sistem sudah tahu semuanya, untuk apa lagi saya perlu konsultan?”

Jawaban atas pertanyaan itu terletak pada satu hal yang tidak dimiliki mesin: penilaian etis dan kontekstual. Algoritma tidak memahami dinamika bisnis, tekanan pasar, atau dilema kepatuhan dalam sektor-sektor tertentu. Ia tidak tahu kapan kesalahan bersifat administratif, dan kapan harus dibaca sebagai niat menghindar.

Di situlah ruang manusia tetap relevan. Konsultan pajak harus menjadi penjaga keseimbangan antara logika teknologi dan rasa keadilan klien. Bukan sebagai pelawan sistem, tetapi sebagai penafsir yang etis.

3. Dunia Usaha dan Risiko Dehumanisasi Pajak

Bagi dunia usaha, era baru ini menuntut lebih dari sekadar kepatuhan formal. Ia menuntut kepatuhan digital-struktural. Artinya, bukan hanya benar secara hukum, tetapi juga sinkron secara sistem.

Kesalahan input, perbedaan waktu pencatatan, atau keterlambatan pelaporan yang dulu dapat dijelaskan dengan surat klarifikasi kini berpotensi langsung dikenai tindak lanjut berbasis data sistem. Margin koreksi manusia semakin sempit. Dunia usaha bergerak di bawah radar yang nyaris real-time.

Dalam jangka pendek, ini mungkin meningkatkan kepatuhan formal. Namun dalam jangka panjang, ada risiko yang lebih subtil: dehumanisasi relasi perpajakan.

Jika setiap transaksi dianggap “berisiko” hanya karena menyimpang dari pola data, wajib pajak bisa merasa selalu dalam posisi terancam. Kepatuhan yang lahir dari rasa takut cenderung rapuh. Ia menciptakan ketaatan semu, bukan loyalitas fiskal.

Padahal, berbagai riset kepatuhan menunjukkan bahwa keadilan prosedural merasakan didengar, diperlakukan wajar, diberi ruang klarifikasi berperan besar dalam menciptakan kepatuhan sukarela. Jika ruang itu tersubstitusi sepenuhnya oleh mesin, kontrak sosial fiskal berpotensi terkikis.

Di sinilah desain kebijakan memegang peran penting. Pengawasan berbasis data harus diimbangi dengan mekanisme dialog administratif yang manusiawi. Sistem boleh memberi sinyal, tetapi keputusan harus tetap memberi ruang bagi pertimbangan manusia.

Menjaga Mesin dalam Bingkai Etika Fiskal

Modernisasi perpajakan adalah keniscayaan. Tidak ada negara yang bisa mundur dari digitalisasi pajak. Namun yang sering luput adalah memastikan bahwa modernisasi tidak menggerus nilai dasar yang membuat sistem pajak tetap sah secara moral: keadilan, proporsionalitas, dan partisipasi warga.

Algoritma sangat andal menghitung. Tapi ia tidak punya rasa keadilan. Di sinilah manusia tak bisa dikeluarkan dari persamaan.

DJP perlu memastikan bahwa sistem baru tidak hanya efisien, tetapi juga dapat dijelaskan (explainable). Wajib pajak harus tahu: mengapa suatu data dianggap menyimpang, parameter apa yang dipakai, dan di mana ruang keberatan atau klarifikasi diberikan.

Konsultan pajak, di sisi lain, harus bertransformasi menjadi ethical data interpreter. Dunia usaha pun harus membangun tata kelola pajak internal yang tidak hanya patuh, tetapi juga transparan dan terintegrasi dengan sistem. Karena pajak bukan sekadar soal kecocokan angka, tetapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan tidak tumbuh dari mesin, melainkan dari relasi manusia yang adil.

Penutup

Saat algoritma mulai menggantikan intuisi fiskal, yang dipertaruhkan bukan hanya efisiensi penerimaan negara, melainkan kualitas relasi antara negara dan pembayar pajaknya. Mesin boleh berbicara dalam bahasa data, tetapi keadilan tetap harus berbicara dalam bahasa manusia.

Penulis adalah Ketua Departemen Humas IKPI, Dosen, dan Praktisi Perpajakan

Jemmi Sutiono

Email:   jemmi.sutiono@gmail.com

 Disclaimer: Tulisan ini merupakan pandangan dan pendapat pribadi penulis

id_ID