IKPI, Jakarta: Menteri Perdagangan Budi Santoso menegaskan pemerintah tidak akan membuka skema kuota maupun legalisasi terbatas untuk impor pakaian bekas (thrifting). Selain karena statusnya yang jelas-jelas ilegal, pemerintah menilai pemberian kuota akan menciptakan distorsi besar, termasuk dalam aspek perpajakan dan penerimaan negara.
“Ya namanya ilegal, ya ilegal,” tegas Budi di Kantor Kemendag, Jakarta Pusat, Kamis (27/11/2025). Ia menambahkan, barang bekas impor tidak dapat diubah statusnya menjadi legal hanya karena alasan tingginya permintaan pasar.
Pernyataan itu disampaikan setelah Kemendag merampungkan pemusnahan 19.391 bal pakaian bekas impor ilegal di Bandung. Operasi pemusnahan dilakukan bertahap hingga akhir November sebagai bagian dari penegakan hukum serta menjaga ekosistem industri tekstil dan penerimaan perpajakan dari sektor pakaian baru.
Di balik larangan impor pakaian bekas, pemerintah juga mempertimbangkan risiko hilangnya potensi penerimaan pajak. Industri tekstil dan garmen dalam negeri, yang menyumbang pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) badan, hingga bea masuk dari bahan baku, dinilai bisa tergerus jika pasar dibanjiri barang preloved impor ilegal berharga murah.
Barang thrifting sendiri masuk tanpa mekanisme fiskal apa pun, mulai dari bea masuk, PPN impor, hingga pungutan lainnya. Budi menilai, membuka kuota impor untuk barang bekas akan membuat pengawasan perpajakan sulit dilakukan dan berpotensi menurunkan kepatuhan di sektor perdagangan.
“Kalau dibuka kuota, bagaimana memastikan kepatuhan fiskalnya? Barang bekas itu tidak pernah punya standar nilai pabean yang jelas,” ujar seorang pejabat Kemendag yang mendampingi Budi.
Pedagang Thrifting Klaim Siap Taat Aturan Pajak
Sementara itu, pedagang pakaian bekas Pasar Senen tetap berharap ruang kompromi. Perwakilan pedagang, Rifai Silalahi, menyebut ekosistem thrifting telah melibatkan sekitar 7,5 juta orang di berbagai daerah. Ia menilai legalisasi akan membuka peluang penerimaan pajak baru bila pemerintah mau mengatur alur impornya.
“Kalau legalisasi tidak memungkinkan, kami hanya berharap ada skema lartas dengan kuota. Pelaku usaha siap ikut aturan dan kewajiban fiskal,” kata Rifai dalam audiensi dengan BAM DPR RI, Rabu (19/11/2025).
Menurut Rifai, pengenaan pajak atas impor pakaian bekas justru berpotensi menjadi sumber penerimaan tambahan apabila pemerintah menyediakan kerangka hukum yang pasti.
Namun bagi Kemendag, risiko terhadap industri nasional dan potensi penyalahgunaan lebih besar dibanding potensi pajaknya. Pemerintah menilai legalisasi atau kuota justru akan menciptakan loophole bagi masuknya barang-barang ilegal dalam volume lebih besar.
“Kalau dibuka sedikit saja, nanti semua masuk lewat pintu itu,” kata Budi menegaskan.
Dengan sikap ini, pemerintah memastikan larangan impor pakaian bekas tetap berlaku tanpa pengecualian. Polemik antara potensi pajak yang bisa dipungut dan kewajiban melindungi industri tekstil dalam negeri pun diperkirakan masih menjadi perdebatan panjang di tengah terus berkembangnya pasar thrifting di Indonesia. (alf)
